30 orang 31 kaki

30 Mei

Sudah baca tulisanmas trainer tentang anaknya yang manggung? Di postingnya diceritakan bagaimana anaknya berjuang untuk terus manggung dan berhasil menyanyikan lagu “A Whole New World”.

Terus terang aku geram membaca tulisan itu, karena tingkah orangtua dan penonton yang menertawakan episode jatuhnya peserta yang masih anak-anak. Sebiadabnya acara televisi di Jepang (artis saling pukul kepala, menertawakan/ mengejek sesama artis) tidak pernah aku melihat kasus orang tua atau penonton menertawakan seorang anak yang “gagal”, malah biasanya diberi tepuk meriah untuk ketegarannya. Mereka bahkan berteriak, “Gambare!” …  Hmmm penonton Jepang memang dewasa menurutku.

Lalu aku sempat mengenang acara anak-anak manggung di dalam/ luar sekolah. Dulu waktu aku SD, aku dan adik-adikku mengikuti exkul angklung. Dan satu kali kami pernah “manggung” di dekat sekolah kami, tepatnya di Aldiron Plaza (Blok M). Entah dalam acara apa, kami murid-murid, memakai seragam sekolah, berbaris dan sukseslah membawakan beberapa lagu dengan angklung di situ. Tapi ternyata di balik layar terjadi sesuatu yang menyebabkan bapakku marah.

Papa datang untuk menonton dan memberikan dukungan tentunya. Dan saat masuk ke departemen store (well untuk jamanku dulu Aldiron sudah cukup besar) dia sudah merasa tidak enak. Kok murid SD disuruh datang bermain di sini? Dan … saat itu papa melihat! Seorang pemuda meraba-raba p*nt*t pemudi, padahal si pemudi tidak suka. Papa tegur pemuda itu, dan untung pemuda itu tidak belagu, meskipun juga tidak meminta maaf. Untung pemuda itu tidak memukul papa, dan tidak menjadi keributan di sana. TAPI, papa langsung menceritakan hal itu kepada pimpinan kegiatan exkul sekolah. Tentu papa membayangkan kalau putrinya yang digituin (diraba-raba) dan tidak bisa melawan. Papa minta untuk memikirkan dua kali jika mau memenuhi undangan bermain di luar sekolah demi alasan keamanan. Dan jika tidak diperhatikan tentu saja papa tidak akan mengijinkan ketiga putrinya ikut dalam kegiatan musik itu. Setahuku, setelah itu kami juga jarang manggung (eh tapi adikku Tina pernah loh manggung main band di Ancol, Band Putri dan menang lagi …cihuuy… aku lupa apakah papa ikut pergi ke sana dan bagaimana soal ijinnya 😀 FYI, adikku Tina memang ikut bela diri Kempo dan waktu itu sepertinya sudah ban coklat)

Dalam posting mas trainer itu juga tertulis begini:  Gunanya untuk memupuk rasa percaya diri anak-anak, memberikan kesempatan mereka untuk berani tampil menyanyi sendiri di panggung.  Ditonton oleh para orang tua murid dan teman-temannya. Suatu tujuan yang bagus, dan aku juga tahu bahwa di Indonesia ada acara-acara sekolah seperti ini, tapi…. aku kok belum menemukannya di Jepang ya? Belum pernah aku lihat liputan seperti itu juga 🙂 (Kalau ada nanti aku pasti lapor deh)

Tapi…. jika manggung semuanya berkelompok. Coba baca tulisanku tentang pertandingan olahraga yang selalu diadakan setiap tahun di Jepang, semuanya tentang kerjasama per kelompok. Tidak ada pertandingan perorangan! Juga acara musik, acara  kesenian. Semua ditampilkan BERSAMA, dengan tema KERJASAMA. Paling-paling hanya dibagi dua kelompok Merah dan Putih.

Well, aku memang tidak lupa isi kuliah di Sastra Jepang dulu (terima kasih bu Jenny Simulya, bu Siti Dahsiar, bu Ansar Anwar) bahwa masyarakat Jepang itu selalu bergerak dalam wakugumi (dalam kerangka), tidak ada pribadi yang medatsu (mencolok), semua seragam. Dan bahwa kesalahan sebuah kolompok adalah tanggung jawab dari si pemimpin, sehingga tidak jarang jika kelompok itu kalah, si pemimpin akan mundur atau dulu bahkan bunuh diri. Kelompok, kelompok dan kelompok. Kelompok nomor satu! Dan untuk bisa bergerak selaku kelompok, kerjasama amat sangat penting.

Memang aku juga pikir, kalau pribadi tidak mencolok, bagaimana persaingan bisa terjadi. Tapi dalam kehidupan bermasyarakat kerjasama memang mutlak juga kan? Dan kerjasama itulah yang ditanamkan sejak kecil. Kegiatan selalu dalam kelompok.

Ada satu acara TV yang pernah aku tonton dulu. Sudah lama ada pokok tulisan tentang ini dalam draft, tapi aku belum menemukan moment yang pas dan sreg untuk mempublishnya. Dan kurasa kali inilah saatnya.

Acara di TV Asahi, yang berjudul 30 orang 31 kaki, pertandingan SD. Bisa mengerti?

Biasanya 30 orang itu berarti 60 kaki bukan? Tapi ini yang pakai hanya 31 kaki! Karena 29 kaki lainnya DIJADIKAN SATU! Prinsipnya seperti dua orang yang sebelah kakinya diikat dengan tali, dan mereka berdua harus berjalan/berlari mencapai gol dengan seirama, kalau bisa senafas! Dua orang 3 kaki saja sulit, apalagi kalau 30 orang 31 kaki! Imposible deh.

Acara ini mulai diadakan tahun 1996. Diadakan seleksi di antara SD yang mendaftar, siapa yang tercepat dan maju ke babak final, kejuaraan se Jepang. Berbulan sebelumnya di sekolah diadakan pemilihan 30 atlit. Biasanya yang larinya cepat, atau dipilih berdasarkan satu kelas. Mereka berlatih sesudah pulang sekolah, dibimbing oleh guru yang bertanggungjawab. Dalam acara itu pun ditampilkan bagaimana masing-masing sekolah berlatih, bagaimana beberapa orang menyerah di tengah jalan, bagaimana mereka kesakitan jika jatuh, bagaimana proses pemilihan ketua regu, dsb. Berat! berat sekali latihan mereka. Tak jarang aku juga ikut mengeluarkan airmata melihat anak-anak ini berusaha. Bagaimana mereka berusaha menyamakan ritme dengan lagu yang mereka pilih. Bagaimana mereka berusaha berlari bersama dengan SENYUM. Acara semacam ini seharusnya diperlihatkan di Indonesia! Modalnya hanya KAKI,  TALI, SEMANGAT serta KERJA SAMA.

30 orang 31 kaki sejuta semangat! Gambar diambil dari http://www.y-mainichi.co.jp/news/5845/

Sayangnya acara yang dilakukan setiap tahun sejak 1996 ini harus diakhiri tahun 2009 di kali yang ke 14 (dan aku bersyukur masih sempat menontonnya). Ada berbagai alasan yang dikemukakan sehubungan dengan selesainya acara ini, tapi yang terbesar adalah masalah budget serta semakin TIDAK ADANYA waktu luang untuk berlatih (menambah beban) karena mulai 2011 ada perubahan kurikulum, penambahan jam dan materi belajar. Sebelumnya (sebelum 2011) Jepang sempat melaksanakan Yutori Kyoiku (Pendidikan Santai) karena ada kritik beratnya pendidikan anak-anak yang menyebabkan banyak murid stress. Tapi waktu diadakan yutori kyouiku tentu saja hasil pendidikan menurun jika dibanding sebelumnya, sehingga dikembalikan lagi (menjadi berat lagi deh hehehe). Well, semuanya memang trial and error, sepanjang Garis Besar Pendidikannya tidak berubah, yah warga tinggal menjalani saja. Tidak bisa memenuhi permintaan dan keinginan semua orang kan? Dalam pelaksanaan kebijakan tentu ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.

pertandingan terakhir tingkat nasional th 2009. Tangis selalu mewarnai acara ini.

Memang urusan kerjasama Jepang nomor satu deh, meskipun mungkin masih kalah dengan Korea atau Korea Utara yang bergaya militer. Tapi aku rasa kerjasama ini penting untuk ditanamkan pada anak-anak Indonesia, ntah bagaimana caranya. Mengajarkan pada anak-anak kita bahwa perjuangan tidak mudah dan tak selamanya manis. Tapi bersatu membuat kita bisa mengembangkan diri sendiri dalam kebersamaan. Jangan hanya mau menang sendiri dan makan enak sendiri, egois, tanpa peduli temannya apalagi orang lain.