Hari ini aku mau tulis gundahnya ibu rumah tangga ya… tolong didengerin ajah hehehe. Ngedumelnya pasti sama sih dengan ibu RT di mana saja. Yaitu soal harga barang-barang yang bikin pusing kepala. Apalagi kalau naik terus. (Eh tapi …. pinternya orang Jepang yah, harganya tetap cuma berat/volume/kemasannya diperkecil….jadi konsumen ngga sadar bahwa sebetulnya harganya naik hihihi)
Sebelumnya aku mau memasang sebuah foto, belanjaanku pagi ini. Memang tidak banyak sih karena … tidak bawa duit hehehe… ngga juga sih, lebih karena tujuan utamanya lain, bukan belanja harian. Nah, dari foto ini kira-kira kamu-kamu bisa menebak tidak, benda apa yang harganya paling mahal…..
sudah bisa menebak? barang apa yang termahal di situ?
.
.
.
.
.
hmmmm…. sudah nebaknya?
OK, aku buka kartu ya…. di antara semua barang di situ yang paling murah air mineral seharga 85 yen. Dan yang termahal adalah …..rokok. hiks hiks
Hari ini aku membeli rokok sampai 3 karton loh, untuk suami tersayang. Padahal aku sebetulnya paling anti orang merokok… tapi gimana lagi, cinta mengalahkan segalanya (cihuuuy). Dan aku memang menghargai hak azazi manusia, selama Gen tidak merokok di depan aku dan anak-anak, then its allright. Dan Gen memang sejak pacaran tidak pernah merokok di depan aku. Dia selalu merokok di luar rumah.
Nah, kenapa aku sampai beli rokok begitu banyak? Apakah Gen ulang tahun? Bukan…. bukan ulang tahun. Tapi….. karena harga satu pak rokok hari ini masih 330 yen, dan mulai besok menjadi 440 yen ….huaaaaa coba tuh satu pak = satu bento makan siang. hiks… yang menangis jelas aku lah.
Hampir separuh orang Jepang yang perokok melihat kenaikan harga rokok ini sebagai kesempatan untuk berhenti merokok karena terlalu mahalnya harga rokok. Aku juga baca di tulisan salah satu teman di FB bahwa di Jerman satu pak rokok menjadi 5 euro….(berarti jauh lebih mahal dari di Jepang tuh). Aku sih berharap supaya Gen berhenti merokok, tapi aku tahu juga rokok dan game komputer adalah satu-satunya pelarian dia kalau sedang stress. Semoga dengan ekonomi rumah tangga yang makin ketat ini dia bisa berhenti (berdoa yang kencang)…..
Kami di sini tidak boleh membuang minyak bekas pakai ke saluran pembuangan air. Harus dibekukan dengan obat khusus atau diserap ke kertas lalu dibuang sebagai sampah terbakar. Terutama di musim dingin, karena minyak beku dapat menghambat saluran pembuangan.
Salah satu obat pembeku minyak itu seperti foto ini. Aku memang tidak tahu apakah semua orang Jepang berbuat sama seperti aku, tapi dari percakapan teman-teman orang Jepang, ya selain membekukan minyak, ada yang memakai koran untuk menyerap minyak dll. Tidak ada teman Jepangku yang membuang langsung ke saluran pembuangan. Semoga teman-teman Indonesia yang tinggal di Jepang juga bisa turut “care” dengan masalah ini.
Tuh kan ceritaku hari ini ngalor-ngidul… tapi yang penting nulis kan ya…hehehe. Selamat menuntaskan hari Rabu 😉
Kalau pertandingan tarik tambang, kurasa semua sudah banyak yang tahu, dan sering dimainkan untuk perlombaan di sekolah-sekolah atau pertemuan atau perayaan agustusan baik oleh anak-anak maupun orang dewasa. Jumlah peserta? Tak terhingga, sepanjang tambangnya bisa menampung hehehe. Tarik tambang di Indonesia dan Jepang ya tentu sama saja. Tapi asyiknya di sini, tambangnya besar dan berat yang digulungnya aja pakai reel. Waaah pengen deh kirim satu unit ginian ke sekolah Indonesia.
Nah, pada hari pertandingan olah raga di SD nya Riku yang diadakan hari Minggu, 26 September aku menemukan satu pertandingan yang cukup seru dan mungkin bisa diaplikasikan ke sekolah-sekolah di Indonesia. Bahannya murah dan ada dimana-mana, tinggal dicat saja menjadi setengah merah dan setengah putih. Yaitu tarik galah atau tongkat atau bambu.
Seperti yang sudah aku tulis di postingan “Merah Putih dan Kebersamaan” yang merupakan laporan sport meeting tahun lalu, satu angkatan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok merah dan putih. Nah, kali ini kelas 4 saja yang mengadakan pertandingan tarik galah ini. Empat A-B-C yang tiga kelas itu dibagi menjadi kelompok merah dan putih, dan berkumpul di dua sisi, kanan dan kiri. Galah berwarna merah dan putih diletakkan di tengah lapangan.
Begitu peluit berbunyi, anak-anak berlomba mengambil galah dan membawanya ke kubunya. Jika sudah berhasil meletakkan galah itu, mereka boleh kembali dan mengambil galah yang lain untuk dibawa ke kubunya. Tentu saja semakin banyak lawan semakin sulit. Kecepatan dan kekuatan menjadi kunci dari permainan ini. Yang menariknya galahnya ada 11 batang! Selesai perlombaan dihitung kelompok mana yang terbanyak mengumpulkan galah.
Semua pertandingan oleh berbagai kelas dan jenis olahraga diikuti oleh kelompok merah dan putih. Nanti semua nilai kelompok merah dari kelas 1 s/d 6 dijumlah, lalu disandingkan dengan jumlah semua nilai kelompok putih dari kelas 1 s/d 6. Tahun lalu yang menang kelompok merah (Riku tahun lalu dan tahun ini kelompok merah), tapi tahun ini yang menang kelompok putih. Jadi juaranya bukan kelas 6 A saja misalnya, tapi secara keseluruhan.
Dalam satu kelas, misalnya Riku di Kelas 2 B muridnya terbagi menjadi dua kelompok merah dan putih. Tadi pagi aku tanyakan pada Riku, bagaimana sensei membagi kelompoknya? Apakah berdasarkan kemampuan lari, jika ada 2 anak yang tercepat, maka ke dua anak itu dipisahkan sehingga masing-masing kelompok balance (begitu yang aku dengar cara pembagiannya). Tapi ternyata menurut Riku hanya berdasarkan tinggi badan. Mereka memang terbiasa berbaris menurut tinggi badan. Setelah berbaris maka jika yang terdepan masuk kelompok merah, maka yang kedua di belakangnya masuk kelompok putih. Merah-putih-merah-putih terus sampai murid ke 33 (jumlah murid satu kelasnya Riku. Entah apakah cara pembagian ini wewenang guru atau kesepakatan bersama.
Waktu kutanya Gen, sejak kapan murid-murid dibagi menjadi dua kelompok merah dan putih, jawabnya ya mungkin dari dulu. Tapi dulu dibagi per kelas. Jadi misalnya kelas 6 A-B-C-D, maka A dan B masuk kelompok Putih dan C dan D masuk kelompok Merah.
Setiap kelas mengikuti pertandingan yang beragam, disesuaikan dengan kemampuan rata-rata anaknya. Misalnya untuk kelas 1 dan 2 mengikuti pertandingan lari 50 meter, sementara yang kelas 6 lari 100 meter. Riku mengikuti lomba lari dan sampai di garis finish yang ke empat dari 6 peserta. Hmmm musti diet nih si Riku.
Selain acara lomba begitu, biasanya tiap kelas membuat sebuah komposisi olahraga pertunjukkan. Tahun ini kelas 2 membawakan pertunjukan berjudul “Furi Furi Flag”. Kostumnya seragam sailor (kerah khusus seperti pelaut yang kami, orang tuanya diminta untuk membantu membuatkan). Yang menarik, mereka (guru-guru) selalu memilih lahu populer yang memang bersemangat. Lagunya Ultra Music Power dari Hey!Say! Jump. (Yang mau tahu lagunya silakan lihat di sini)
Melihat gerakan mereka memang membuatku teringat pada ketrampilan semaphore di Pramuka dulu. Ihhh, dulu aku hafal loh semua, kok sekarang lupa ya hehehe.
Acara pertandingan olah raga di SD nya Riku ini dibagi 2 bagian. Bagian pagi, dan siang. Jadi kami diberi kesempatan untuk makan siang (bento/bekal) selama 1 jam. Tapi karena aku capek sekali, gen, aku dan kai pulang ke rumah untuk makan siang bentonya di rumah saja. Dan di situ aku merasa tua banget, karena punggungku sakit akibat menyandang ransel berat berisi bekal untuk kami bertiga. Jadi aku tinggal di rumah bersama Kai, dan tidur. Gen saja yang kembali ke sekolah Riku untuk menonton bagian ke dua, dan juga membantu panitia selama 30 menit menjaga jalan di sekitar SD.
Jadi aku sendiri tidak lihat bagian siang dan memang bagian ini lebih bersifat umum, bukan perkelas. Seperti menggulirkan bola raksasa per kelompok. Kelompok yang paling cepat membawa bola raksasa itu yang juara. Biasanya pertandingan memakai bola raksasa ini yang menjadi penentu kemenangan kelompok putih atau kelompok merah. Tapi tahun ini sejak awal sudah kelihatan bahwa kelompok merah akan kalah. Kelompok Putih jauh lebih kuat, sehingga bendera kemenangan tahun ini dipindahtangankan dari kelompok Merah sebagai juara tahun lalu ke kelompok Putih.
Well, yang aku dengar dari Riku sih, murid-murid bersemangat mempersiapkan pertandingan dan tidak ada ejek-mengejek karena kalah atau menang, tapi yang penting kebersamaan dalam melakukan suatu acara. Semangat bersatu itu dilatih setiap tahun dengan acara pertandingan OR, sport meeting atau Undokai ini.Aku selalu merinding setiap melihat seruan-seruan kelompok yang membakar semangat anak-anak untuk “do their best”.
Jadi selama 10 tahun ke depan, aku dan Gen pasti akan datang dan ikut serta (paling sedikit menonton) kegiatan anak-anak kami selama mereka SD. Undokai memang merupakan kegiatan anak SD di seluruh Jepang yang tidak bisa dilewatkan, yang merupakan salah satu kegiatan menyambut Hari Olah Raga tanggal 11 Oktober 2010 (tanggalnya berubah setiap tahun, tapi ditentukan hari Senin minggu kedua bulan Oktober).
Untuk Kai, karena dia adalah anggota pre-school (penitipan) maka akan diadakan undokainya hari Sabtu tgl 2 Oktober. Dan ini juga lucu sekali, karena tentu saja anak-anak di penitipan masih terlalu kecil untuk berolahraga. Moga-moga hari Sabtu itu Kai sehat dan udara cerah sehingga kami sekeluarga bisa ikut meramaikan acara undokai hoikuen (penitipan) Kai. Dan sebagai penutup aku sertakan video clip waktu Riku masih di hoikuen (6 Oktober 2006) dan menarikan “goyang pinggul”.(Kalau Riku tahu malu ngga ya dia? hahaha)
Aku berterima kasih pada pembuat puzzle peta Jepang, terutama bagian utara Jepang, Tohoku, karena berkat puzzle itu Kai mau ditinggal di penitipan hari Jumat yang lalu (Baca juga posting sebelum ini “Oh Baby“). Di depan senseinya di depan pintu masuk penitipan Himawari, aku bujuk dia untuk cerita pada senseinya bahwa dia sudah bisa membuat puzzle peta Jepang, dan sendirian tanpa bantuan! Wah harus lihat mukanya yang senyum-senyum bangga gitu, sambil berkata “Iya aku bisa buat puzzle sendiri”, dan untungnya senseinya langsung follow, “Kalau gitu kan di sini juga ada puzzle, coba kasih lihat sensei…..” Dan masuklah dia ke dalam ruangan. Cepet-cepet aku dan Gen melambaikan tangan, dan pergi kerja. Save!
Sehari sebelumnya kami melewatkan hari libur (Kamis tanggal 23 September 2010) di rumah, karena hujan terus akibat taifu (Badai) No 12, atau nama Asianya Malakas, dengan kecepatan 50 km/h. Menurut pak Nanang ITB kecepatan segitu sih lambat, dan memang tidak menyebabkan pembatalan penerbangan di Jepang. Badai ini juga yang dibaca pemberitahuannya oleh mas trainer waktu berada di Hongkong di postingan “Three Signs“.
Malas sekali mau keluar rumah. Tadinya berpikir mau ke museum/ pameran mengenai binatang mamalia atau ke akuarium…. tapi becek ya? hihihi (bilang aja males). Sehingga kami berempat melewatkan waktu libur Hari Equinox* di dalam rumah. Aku dengan komputerku, Gen di depan komputernya sama-sama bermain game. Riku dengan Nintendo DSnya, dan Kai… nonton TV. Semua di dalam satu ruangan. Hmmm kapan lagi bisa santai begini ya? Sampai mamanya juga santai hanya panasin nasi goreng yang di freezer saja untuk makan siang. Malesssss.
Capek menghadapi barang elektronik, kami kemudian bersama-sama bermain puzzle peta Jepang. Gen membeli puzzle ini seharga 1050 yen, selain karena dia ingin bernostalgia mengingat masa kecilnya, dia juga ingin mengenalkan puzzle ini kepada Riku. Puzzle ini sangat bagus untuk membantu menghafal geografi Jepang.
Satu set terdiri dari 4 lembar. Jepang yang secara keseluruhan terdiri dari 47 prefektur (semacam propinsi) dibagi 4 yaitu wilayah selatan, wilayah Kanto, wilayah Tohoku dan Hokkaido. Satu potong puzzle satu prefektur, kecuali untuk pulau-pulau di Okinawa dan daerah kecil-kecil di Hokkaido. Untuk Riku sebetulnya cukup mudah karena ada tulisannya, jadi dia bisa baca. Bisa tahu bentuknya hanya dengan menentukan tulisan itu terbalik atau tidak. Tapi untuk Kai, dia belum bisa baca, sehingga hanya melihat bentuk cetakan yang tertera pada lembaran. Hanya mencocokkan bentuk. Dan dia memang hanya mengerjakan peta wilayah Tohoku yang hanya 6 prefektur jadi cukup mudah. Tapi untuk anak usia 3 tahun lumayan cepat!
Dan yang menarik, meskipun peta ini dibagi menjadi 4 lembaran, jika dicopot dari lembarannya, peta ini bisa menjadi satu peta lengkap. Jika memikirkan bahwa perusahaan ini sudah membuat produk ini sama persis waktu Gen kecil, sekitar 30 tahun lalu, aku merasa hebat sekali. Dan Gen bertanya padaku apakah Indonesia mempunyai peta puzzle seperti ini. Kalau ada dia mau beli. Tapi setahuku sih aku tidak pernah melihat barang bagus gini deh di Jakarta. Siapa tahu Uda Vizon dengan mainan bocahnya bisa membuatnya, atau mungkin ada teman yang tahu ada atau tidak puzzle peta Indonesia?
Karena kami harus makan malam sedangkan mama Imelda malas masak, jadi kami pergi makan di luar malam itu. Kami pergi makan di resto yakiniku “Gyukaku”. Sebetulnya aku yang minta Gen untuk pergi ke situ. Karena sebetulnya kami belum pernah makan di Gyukaku, dan waktu aku pergi ke Pasific Place, ada restoran Gyukaku ini. Kesannya dari luar itu resto mahal… ngeri mau masuk, apalagi waktu itu aku memang sendirian. Meskipun itu siang hari, aku agak sungkan juga. Kalau kejadiannya di Jepang sih masa bodoh, aku pasti akan masuk biarpun sendirian hehehe.
Lagipula hari itu adalah hari peringatan kami. Persis tanggal 23 September 1992, 18 tahun lalu aku menginjakkan negara matahari terbit ini. Potongan kertas imigrasinya masih tertempel di paspor aku. Dan tgl 23 September 1999 aku dan Gen mencatatkan perkawinan di catatan sipil Jepang. Officialy sudah 11 tahun kami menikah meskipun bagi kami “anniversary” aslinya adalah waktu diberkati di gereja, pada bulan Desembernya. Jadi adalah alasan untuk makan di luar.
(Ada teman yang nyeletuk dalam bahasa Jepang, “Asyik setelah 18 th, dapat Riku dan Kai” hmmm kok aku agak tersinggung ya? Karena memang sih dengan pernikahan, aku mendapatkan dua anak. Tapi bagiku semua kehidupan selama 18 tahun itu merupakan “hadiah” yang aku dapatkan. Termasuk kemudahan ngeblog, juga merupakan output tinggalnya aku di Jepang selama 18 tahun. Jika aku tinggal di Indonesia, belum tentu aku bisa punya blog, atau bahkan bisa menuliskan pengalaman selama di sini. Well, tentu saja aku bersyukur atas semua yang telah kudapat selamat ini, tiada hari tanpa rasa syukur)
* Hari Equinox atau Higan, merupakan hari pergantian dari musim panas ke musim gugur. Higan ada 2 kali, yang satunya lagi pergantian musim dingin ke musim semi yang biasanya jatuh pada tanggal 23 Maret. Ada peribahasa yang mengatakan “atsusa mo samusa mo higan made 暑さも寒さも彼岸まで” , yang berarti panas dan dingin cuma sampai Higan. Setelah itu panas dan dingin tidak akan kembali. Pada hari ini panjangnya siang dan malam sama. Yang di musim panas malam menjadi gelap setelah pukul 7-8 malam, kembali normal menjadi jam 6, dan lama-lama seiring dengan menurunnya suhu akan bergeser lebih cepat gelapnya. Puncaknya bisa sampai pukul 4 sudah gelap. Pada hari Higan ini juga biasanya orang Jepang pergi nyekar ke makam leluhur.
bukan…bukan suatu pengumuman, tapi ingin bercerita tentang anakku Kai yang semakin…. gede.
Baby tentu saja arti sesungguhnya adalah bayi, yang baru saja dilahirkan dari perut ibunya. Pasti dong lucu, bayi itu menggemaskan bahkan ada yang mengatakan bayi itu cantik atau manis. Nah, ungkapan baby ini juga sering dipakai sebagai pengganti “darling“, “sweety” dengan variasi babe (dibaca beib). Dan ada beberapa teman dekatku yang aku tahu menggunakan atau dipanggil dengan beib ini oleh kekasihnya. (sambil melirik salah satu sahabat mayaku yang sering dipanggil beib atau cin … dan percayalah aku tidak pernah dipanggil dengan ungkapan ini **ngiri.com**)
Nah, sudah jelas pasti tidak diragukan lagi, Riku dan Kai mengenal kata “baby” ini di sebuah film remajanya Disney Chanel. Ceritanya si cowo merayu perempuan dan mengatakan, “Hai baby….”. Nah Riku pernah sekali memakai kata itu waktu bermain dengan Kai. Dan aku terkejut sekali waktu Kai memakai kata Baby ini padaku, waktu kami akan pergi. Seperti biasa aku masih hilir mudik mempersiapkan yang mesti dibawa, sedangkan si Kai ini sudah selesai dan tidak sabar untuk pergi. Dia berkata padaku, “Ayo baby!”. Aku bengong dan bertanya padanya, “Siapa baby?”
“Mama….” katanya sambil tersenyum. Aku tertawa terbahak-bahak dan memeluk dia, dan berkata, “Kai mama senang dipanggil baby, tapi… baby artinya juga akachan (bayi). Kan mama bukan bayi….” Tapi dia cuma tersenyum, dan…sudahlah… akhirnya kupikir, lucu juga dipanggil baby oleh my baby.
Dan my baby Kai ini sudah cukup merepotkanku selama sepuluh hari ini (meskipun aku tidak boleh menyalahkan dia sebagai penghambat aku menulis di TE… bukan Kai tapi dari diriku sendiri yang memang malas, belum mood untuk menulis di TE, tapi lebih banyak dan nyaman menulis di blogku yang satunya)
Mulai sabtu minggu lalu tanggal 18-19-20, di Jepang libur beruntun karena tanggal 20 adalah hari penghormatan orang tua, seperti telah kutulis di posting sebelum ini. Dan Kai sakit, demam serta batuk yang cukup berat sehingga dia sulit nafas, tidak ada nafsu makan sama sekali, yang membuat aku juga tidak bisa tidur karena khawatir. Lagipula meskipun hari libur Gen tetap masuk kerja hari Sabtu dan Minggunya, sehingga aku takut kalau sampai perlu pergi ke UGD (Unit Gawat Darirat), aku harus pergi sendiri.
Untunglah demamnya kemudian tidak seberapa tinggi, Kai juga bisa tidur (terus) dan kelihatan tidak kesakitan. Sebagai akibat hari Senin meskipun Gennya kemudian libur, kami tidak bisa pergi kemana-mana. Hanya aku dan Riku sore harinya bersepeda ke perpustakaan daerah kami untuk mengembalikan buku yang Riku pinjam. Demikian pula hari Selasa dan Rabunya Kai tidak mau ke penitipan dengan alasan, “Aku masih sakit” atau “Aku sayang mama, aku mau sama mama di rumah….”.
Memang batuknya belum sembuh benar, tapi kalau Kai menolak pergi ke penitipan akan berakibat buruk. Aku mulai mengajar Jumatnya ( 24 September), dan karena khawatir akan kemungkinan terburuk Kai tidak mau ke penitipan, aku stress berat selama 3 hari itu. Sampai aku terpaksa konsul ke gurunya Kai mengenai penolakan Kai ke penitipan (tentu saja sambil menangis…hiks).
Akhirnya aku meminta bantuan Gen untuk ikut membujuk Kai pergi hari Jumat pagi. Kai meronta-ronta dan tidak mau pergi. Tidak mau pakai sepatu sehingga akhirnya Gen menggendong Kai sambil aku membawa sepatu, kaus kaki dan tasnya. Dia juga tidak mau turun dari mobil. Setelah dibujuk oleh Gen dan aku, serta bergantian menggendongnya, setelah 30 menit, akhirnya dia mau masuk ke penitipannya tanpa menangis. Oh my (real) baby….
Dua hari yang lalu aku menonton program televisi Piramekino dari TV Tokyo, sebuah acara anak-anak yang ummm sedikit dewasa (dan ramai) daripada program NHK misalnya. Akhir-akhir ini Riku tergila-gila dengan acara ini, karena acara ini memang lebih bervariasi, penuh dengan istilah bahasa Jepang yang aneh-aneh, dan meskipun “cuma 30 menit” padat sampai ada ramalan bintang untuk anak-anak segala. Ramalannya sih agak-agak deh, termasuk cara pdkt dengan cowo/cewe kesukaan. (Mau bilang jangan percaya! pada Riku juga ngga tega)
Nah, yang menarik perhatianku dari acara dua hari yang lalu itu adalah sebuah acara kuis yang diikuti oleh 2 pasang kakek+cucu. Kuisnya adalah tentang menebak tokoh/karakter yang sering muncul di televisi. Aduuuh aku pasti angkat tangan deh kalau disuruh menebak nama-nama karakter hanya dengan gambar saja. Jepang kaya dengan karakter anak-anak (dewasa juga sih) sehingga yang bukan “anak televisi – terebikkoテレビっ子” (I hate television actually) pasti tidak akan bisa hafal.
Aku tahu Naruto juga, tapi jangan tanya selain sakura dan sasuke kepadaku deh.
Aku tahu Peko-chan, karakternya restoran/bakery Fujiya, tapi jangan tanya temennya peko-chan yang laki-laki namanya siapa.
Dan satu lagi aku cuma tahu Satoshi dan Pikachu, dari Pokemon (Pocket Monster) yang monsternya bejibun gitu. (Bener-bener nguras dompet orang tua tuh karakter seri Pokemon). (Yang herannya anak-anak hafal semua tuh puluhan karakter yang ada, tapi kalau disuruh hafal pelajaran …..tunggu dulu ya Mah!)
Tapiiiii itu dua kakek yang tampil pada acara kuis itu (satu berusia 67 tahun dan satunya 74 tahun) tahu hampir 90% nama karakter yang ditanyakan. HEBAT! SASUGA さすが!SUGOI すごい!Dan mereka berdua TIDAK diberi tahu oleh cucunya loh. Cucu di situ hanya sebagai suporter mereka saja.
Yah dengan melihat acara itu aku bisa mengetahui salah satu sisi kehidupan lansia di Jepang. Kakek-kakek ini “berfungsi” sebagai teman menonton TV para cucunya. Sesudah pulang sekolah pukul 3 sampai dengan waktu makan malam pukul 6-7 malam, Sang Kakek dan Cucu berdua atau berbanyak akan duduk bersama di depan televisi dan menonton acara anak-anak itu. Si nenek mungkin sedang berbelanja atau menyiapkan makan malam di dapur, sementara ayah dan ibu bekerja di luar rumah. Karena itu kakek juga mungkin orang pertama yang merasa sedih waktu cucu-cucu itu beranjak dewasa, lulus SD dan tidak memerlukan teman menonton TV lagi 🙁
Kakek-kakek ini pensiun bekerja umur 60 tahun. Biasanya sampai usia 70 tahun, mereka masih bisa bekerja sebagai OB di kantornya yang lama, atau bisa juga mendaftar sebagai pekerja sukarela di kantor pemerintah daerah atau organisasi sosial lainnya. Bayangkan jika mereka hidup misalnya sampai 80 tahun sesuai dengan survey usia rata-rata pria Jepang 79, 59 (wanita 86,44 tahun), berarti masih ada 20 tahun waktu setelah pensiun. Apalgi kalau bisa hidup sampai 100 tahun? Bagaimana melewatkan waktu 40 tahun itu sampai dipanggil Tuhan?
Bapakku sekarang 72 tahun dan menurutku dia bahkan lebih sibuk daripada sebelum pensiun dan masih bekerja. Meskipun memang dia selalu berkata, “Aku kan pengacara, pengangguran banyak acara!”. Tapi yang pasti cucu-cucu di rumah kami di Jakarta akan kehilangan “supir pribadi”, jika opanya ada janji/seminar/kerja lain sehingga tidak bisa antar jemput ke sekolah. Bahkan aku cukup tersentak waktu mengetahui opa dan oma yang sering mengantar cucu-cucu itu ke Unit Gawat Darurat jika sang cucu mengalami kecelakaan kecil atau sakit. (Seandainya mereka ada di Jepang juga untuk bantu aku….. hehehe)
Betapa dukungan kakek/nenek sebetulnya dibutuhkan oleh keluarga modern saat ini di Jakarta atau kota besar lainnya. Begitu pula di Jepang, sampai-sampai menjadi trend untuk mempunyai rumah nisetai 二世帯住宅 rumah 2 keluarga, yaitu keluarga si kakek/nenek menempati lantai bawah, dan keluarga ayah-ibu-anak menempati lantai atas, atau kebalikannya. Tapi, sekali lagi, itu berlaku untuk mereka yang tinggal di kota yang sama.Kenyataannya masih banyak orang tua yang tinggal sendiri di masa tuanya.
Hari ini tanggal 20 September 2010 adalah hari peringatan di Jepang untuk penghormatan kepada lansia, keiro no hi 敬老の日. Biasanya pemerintah daerah akan mengirimkan hadiah sederhana dengan tulisan KOTOBUKI 寿 (umur panjang) kepada para lansia yang tinggal di daerahnya. Pemerintah juga akan mengumumkan usia rata-rata warganya, selain melaporkan kondisi kehidupan para lansia yang menurut data sejumlah 23,1% dari seluruh jumlah penduduk Jepang(data 15 Sept 2010). Masyarakat Jepang semakin tua. Sekarang yang muda-muda menghormati yang tua, akankah kelak tak ada lagi yang muda yang seharusnya menghormati ya tua sehingga arti dari “hari penghormatan kepada lansia” menjadi rancu (karena semua masyarakatnya sudah tua)?
Yang sekarang menjadi pe-er adalah bagaimana menjadi lansia yang sehat dan tidak perlu menjadi beban keluarga dan masyarakat. Aku tetap kagum pada almarhum nenek Miyashita yang meninggal pada usia 90 tahun, karena serangan jantung, dan sampai detik terakhir masih hidup sendiri, masak sendiri, jalan sendiri, tanpa perlu bantuan untuk semua yang bisa dikerjakan sendiri. Meskipun kami tidak pernah membiarkan nenek pergi keluar sendirian. Memang kotobuki, umur panjang menjadi ciri masyarakat sejahtera, meskipun sering dipertanyakan sampai umur berapa sebaiknya manusia hidup. Ya tentu saja kita harus menyerahkan jawaban ini kepada yang Empunya Hidup, bukan?
Dan menurut berita siang ini jumlah lansia Jepang yang berusia di atas 100 tahun sejumlah 44.490 orang!!!! (Dan dijawab Gen mungkin 40.000 itu sudah tidak diketahui keberadaannya ….. masalah yang sekarang dihadapi Jepang yaitu bahwa banyak lansia yang tidak diketahui keberadaannya, entah meninggal tanpa diketahui atau kematiannya tidak dilaporkan, padahal mereka masih terus mendapat tunjangan dari pemerintah)
Pasti pernah ya lihat lukisan kuda di ruang tamu seseorang? Biasanya berjumlah delapan, karena menurut orang Asia, angka delapan itu membawa kemujuran. Kuda dilambangkan sebagai hewan yang kuat, tegar dan tentu saja tidak takut berperang. Diharapkan manusia atau penyuka kuda itu “tertular” keberanian kuda dari lukisan yang dipasang.
Aku juga suka kuda, meskipun naik kuda hanya terbatas pada kuda di daerah wisata yang kadang masih dipegangi oleh sang penyewa. Naik kuda itu sebenarnya tidak enak dan tidak seempuk yang dibayangkan (tanggung deh pasti pantatnya sakit sesudah naik kuda), tapi entah kenapa aku juga suka pada binatang ini. Pernah lihat mata kuda? cantik! Penunggang kuda atau yang diberi nama Joki kuda itu kelihatannya gagah sekali bisa mengendalikan jalannya kuda. Mungkin karena itu juga aku pernah suka pada seorang joki kuda di jaman SMP … cihuyyy (Moga-moga dia tidak baca postingan ini. Malu hahaha… well memory cinta monyet 😀 )
Nah sebetulnya yang aku mau kasih tahu pada pembaca TE adalah soal balap kuda, pacuan kuda, adu kuda, entah apa namanya, tapi mengadu kecepatan kuda di suatu “veledrome” eh bukan veledrome karena veledrome itu arena balap sepeda. Entah ada nama khusus tidak untuk arena balap kuda, tapi di Jepang namanya Keibajo. Balap Kuda di Jepang diberi nama Keiba 競馬 terdiri dari dua kanji: kanji berlomba dan kuda.
Aku cukup heran karena pernah ditanyakan pada teman mahasiswa di Universitas Yokohama “Kamu suka keiba?”. Hmmm pertanyaan yang gawat karena balap kuda di Jepang = berjudi. Dan terus terang aku tidak suka berjudi, bahkan untuk membeli undian berhadiah saja tidak suka. Meskipun misalnya beli, tidak pernah menonton atau memperhatikan nomor undiannya. Jadi seandainya nomorku pernah keluar nomor satu pun aku mungkin tidak tahu tuh hihihi. Gagal deh jadi orang kayanya :D.
Hari ini adalah hari keiba, karena tanggal 16 September tahun 1954, sebuah organisasi bernama Japan Racing Association (JRA) didirikan dibawah pengawasan Departemen Pertanian Kehutanan dan Perikanan Jepang. Dan boleh dikatakan mungkin Jepang satu-satunya negara di dunia (yang menyelenggarakan balap kuda) memberikan penghasilan sedemikian besar pada negara, sebagai hasil keiba. Pertahun 300milyar yen masuk ke kas negara. Dan uangnya tentu saja banyak dipakai untuk kesejahteraan lembaga-lembaga di bawah Departemen tersebut, selain sumbangan bangunan/sarana pada negara. Yah, dulu Indonesia juga pernah punya SDSB (?) sumbangan berhadiah yang rencananya dana itu dipakai untuk pembangunan negara. Tapi hebatnya Jepang, perjudian seperti keiba, juga lotto dan undian berhadiah lainnya didukung pemerintah dan hasilnya benar-benar kelihatan.
Untuk teman-teman di Jepang, Sekolah Republik Indonesia Tokyo di Meguro itu terletak dekat halte bus yang bernama Moto Keibajo Mae. Jadi dulu sepertinya pernah ada arena pacuan kuda tuh, dekat dekat situ. Ah… sebagus-bagusnya manfaat keiba, aku merasa beruntung suamiku atau sahabatku tidak ada yang kecanduan keiba. Biar bagaimanapun juga itu kan judi. Yang kasian dompet dan kudanya diadu-adu hehehe.
Postingan ini dibuat secepatnya soalnya aku sudah dimarahi tidak membuat postingan baru. Postingan yang sedianya aku publish hari ini masih membutuhkan penelitian (jiaahhh) lebih lanjut yang membuat aku malesssss banget nulisnya. Semoga secepatnya bisa dipublish deh. OK Liona, I hope this posting could satisfy you, for now. Jangan bete-bete terus yah hehehe.
*** Oh ya kalau ada yang main FV di FB kirimin aku horse ya… jarang ada yang ngirimin kuda sih 😀 (ketahuan lagi addicted main FV a.k.a FarmVille)
Loh kok? Sejak kapan Imelda lebaranan? Bukannya natalan? Well, memang sih, tapi tidak salah kan kalau aku mau merayakan lebaran juga, apalagi lebaran ala Indonesia? Tahun-tahun yang lewat setiap lebaran aku memang suka masak opor ayam sebagai menu kami. Tapi tidak pernah lengkap dengan sambal goreng ati, sayur buncis, apalagi ketupat. Aku belum bisa buat ketupat tuh, karena di sini tentu tidak ada daunnya. Masa bikin ketupat dari pita? hihihi.
Nah kebetulan 3 hari sebelum lebaran, aku menyalakan YM dan membaca status seorang sahabat (tau dong sapa yang suka mellow-mellow gitu hihihi). Tulisannya, “Miss my home”…. duh kasihan sekali. Karena sesungguhnya aku pun sedang homesick, sejak kematian Oma Poel, ingin sekali rasanya terbang ke Jakarta. Waktu aku pulang, papa sedang retreat dan mama tidak ikut antar ke bandara. (Meskipun malam sebelum aku berangkat ngga biasanya aku tidur di sebelah mama bersama Kai….dan hampir menangis terus, ingin memeluk mama. Lalu mama bilang, “Hush…bobo, kamu harus berangkat pagi-pagi!”). Apalagi Tina juga mudik ke Jakarta pas lebaran, menikmati cuti musim panasnya. Ingin rasanya minta dia memasukkan aku ke kopernya (mana muat mel hihihi).
Jadi, aku mengajak temanku itu untuk datang ke Tokyo, makan-makan di rumahku, kalau dia mau. Aku janji masakkan opor ayam, dan akhirnya lengkap dengan sambal goreng ati, sayur buncis, dan sayur labu siam. Dan dia minta tolong untuk buat kue tart temannya yang berulang tahun. OK…aku juga sudah lama tidak buat black forrest. Jadi deh aku pesan ayam dan daging halal seperti biasa ke Bumbu-ya supaya sampai paket itu di rumah kamis pagi, dan bisa langsung mulai masak. Cuma aku salah pesan nangka kaleng sebagai bahan es teler. Aku tulis pesananku via email: nangka muda padahal seharusnya nangka buah. Jadi terpaksa deh es telernya tanpa nangka muda. Makanya namanya Es Teler ala Nerima.
Tadinya kupikir mereka akan datang pukul 12 atau 1 an deh, untuk makan siang. Karena mereka akan sembahyang Ied di Balai Indonesia, Meguro. Tapi aku lupa bahwa lebaran jatuh persis hari Jumat, jadi yang laki-laki sembahyang Jumat dulu baru ke rumahku. Dan dengan acara nyasar-nyasar (aku tahu sih apa yang menyebabkan si Eka bisa disoriented gitu, tapi maklumin aja deh hehehe). Mereka sampai di Nerima kira-kira pukul 3 siang deh.
Sudah lama aku tidak mengadakan “makan-makan” lebih dari 2 orang. Jadi dengan kehadiran 6 orang ini, aku merasa kembali ke jaman aku muda (sekarang pun masa muda sih…cihuuuy). Yang paling muda mungkin berusia 24 tahun ya, yaitu yang berulangtahun 3 hari sebelumnya, Kiki. Wanita cantik muda ini ternyata dokter bo….. duh…. bener deh aku merasa tuweeek banget. Pengen rasanya kembali jadi mahasiswa. Eits tapi si Kiki udah ada yang punya, udah gitu suaminya dokter juga! Dokter Jordan ini sedang belajar di Chiba University. Sedangkan teman Ekawati Sudjono (Tsukuba University) yang lain adalah Dewi (juga dokter….. aduh aku musti catet nih nomor-nomor mereka, begitu ada yang sakit bisa minta petunjuk dokter) yang sedang belajar di Juntendo, sebuah universitas yang mempunya RS cukup terkenal di Tokyo. Kemudian Kak David (salah denger) Khadaffi yang sedang belajar di Tsukuba University juga. Dan yang terakhir tapi yang terpenting (karena calon presiden nih saingannya Khadaffi) belajar di Universitas Saitama adalah Ari. (Semoga aku tidak salah menuliskan nama dan universitasnya ya Eka… maklum waktu itu kan ngga dicatet).
Bercakap-cakap mengalahkan suara televisinya Kai dan Riku (kayaknya banyakan aku yang ngomong ya…maaf yah hihihi) membuat aku merasa menjadi mahasiswa, atau tepatnya sempai (senior) aja deh. Memang seperti yang dulu aku pernah tulis di TE juga (lupa judulnya), kita itu harus bergaul dengan yang muda-muda supaya merasa (semangat) muda. Dan itu yang aku rasakan hari Jumat lalu, selain berasa di Indonesia karena ngobrol dengan bahasa Indonesia dan makan masakan Indonesia.
Setelah salat (tulisan yang benar menurut KBBI adalah salat loh bukan sholat 😉 ) Ashar, kami menyanyikan “Happy Birthday” untuk Kiki, dan memotong kue Black Forrest yang aku buat (khusus tanpa rhum hihihi) dan es teler ala Nerima. Isinya cuma kelapa muda (kaleng) , kolang-kaling (kaleng) , alpokat dan agar-agar sebagai gantinya nangka buah yang aku salah pesan. Lalu pakai susu segar dingin. Biasanya es-es/kudapan Indonesia lebih enak pakai santan, tapi waktu aku coba ganti dengan susu segar, rasanya lebih ringan dan tidak magtig (blenek/enek) .
Akhirnya setelah salat Magrib, mereka pulang kembali ke rumah masing-masing (mustinya…kecuali kalau mampir dulu hihihi). Berakhirlah lebaranan ala d’miyashita (dilanjut Gen sendirian makan malam opor dkk sih) untuk tahun 1431 Hijriah ini. Dan kami mengucapkan “Selamat Idul Fitri – Mohon maaf lahir batin” kepada semua teman-teman, keluarga, saudara, serta pembaca Twilight Express. Kapan giliran Anda ke sini? 😉
Kalau dia bukan siapa-siapamu, kenapa kau memikirkannya? Kenapa kau menangisinya? Sampai tiga hari air mata mengalir setiap teringat padanya, dan tertundalah tulisan ini yang semestinya aku publish hari Sabtu lalu, sebagai persembahanku padanya.
Aku dan dia terpaut hampir 50 tahun! Kupanggil dia Oma Poel. Dia bekerja di kantor yang sama dengan papa dan mamaku dulu, di BPM, cikal bakal Pertamina sekarang. Dan kami tinggal di sebuah kompleks milik perusahaan minyak itu. Rumahnya persis di belakang rumahku. Berbentuk town house, kami share halaman belakang yang sama, yang dipakai untuk menjemur pakaian.
Waktu kulahir, dia ikut gembira menyambutku. Dan menyambut gembira setiap aku yang masih balita “menyeberang” ke rumahnya. Aku diberikan julukan khusus olehnya, Barendtje donderkop…. kepala botak yang kerjanya mondar-mandir.
Terkadang dia mengajakku pergi ke rumah temannya. Dan katanya aku selalu bersikap manis, tidak nakal, mau dengar-dengaran …pokoknya tidak memalukannya. Bahkan ceritanya yang terakhir, aku sempat tertidur lelap di rumah temannya itu, begitu enak tidurku, sehingga temannya berkata, “Sepuluh anak seperti begini, aku juga mau jaganya”
Yang pasti tangannya banyak menghasilkan baju-baju untukku. Sejak aku kecil, sampai aku SMP dia selalu menjahitkan bajuku. Sampai dia menyerah dan mengatakan “silakan beli saja”, kecuali untuk seragam sekolah SMAku.
Dia juga yang membantu membuat kebiasaan keluarga kami untuk selalu mengikuti misa di gereja setiap hari ulang tahun anggota keluarga, lengkap atau tidak lengkap. Baik yang ulang tahun hadir, atau tidak.
Dia pula yang menangisi aku waktu aku bisa melampaui masa krisis pasca operasi usus buntu waktu aku berumur 13 tahun…….. Dia ada di setiap hari-hari besarku, kecuali waktu aku menikah. Ya, aku telah membuatnya kecewa tidak bisa membantu mempersiapkan misa dan lagu untuk misa pernikahanku karena dilaksanakan di Tokyo. Dia juga sudah terlalu tua untuk datang ke sini.
Dia bergembira karena anak pertamaku lahir persis seminggu setelah hari ulang tahunnya. Dan dengan bangganya menggendong Riku waktu ulang tahun pertamanya dirayakan di Jakarta. Ah… itu sudah 7 tahun yang lalu.
Tapi tanggal 19 Agustus 2010 yang lalu, dia masih menyempatkan datang ke rumah di Jakarta khusus untuk bertemu denganku, sebelum kepulanganku ke Tokyo tanggal 22 Agustus. Saat itu dia berpesan padaku ada dua hal:
1. “Imelda kalau mau kasih uang pada Oma. Jangan ketahuan yang lain ya…. Nanti mereka tahu aku ada uang. Aku yang musti bayar taxinya.” Sambil tersenyum-senyum aku jawab saja, “Iya oma…..” karena dia berbicara dengan suara keras, di depan semua orang. Bagaimana bisa tidak ketahuan orang lain coba? Dan dalam hati aku bertekad, memberikan uang padanya, dan uang taxi pada tante yang turut serta.
2. “Imelda…kamu jaga badan kamu! Sudah bagus begini. Jangan lebih gendut dari sekarang ya… ” Dan aku cuma tertawa… “Iya oma….” sambil peluk dan cium pipinya yang keriput. Ah….aku ingat 4 tahun yang lalu dia masih berpesan padaku untuk “membuat” adik untuk Riku, untung tahun ini dia tidak berkata…bikin cucu perempuan dong….hehehe.
Dan hari itu aku bertanya padanya, “Oma mau makan apa?” Dia dulu suka kalau aku buatkan onabe, rebusan segala macam ikan, daging, sayuran. Tapi kali ini dia minta sate ayam (sebetulnya sudah dia katakan pada kedatangan sebelumnya tanggal 2 Agustus). Jadi aku dan mama menyuruh asisten RT beli sate ayam depan RSPP untuk makan siang, dan minta dipisah bumbu kacangnya. Dia tidak boleh makan bumbu kacang, karena maagnya tidak bisa terima lagi.
Dan aku juga terharu pada mamaku. Saat itu dia menyiapkan bubur untuk oma Poel. Aku tidak tahu bahwa Oma sudah tidak bisa lagi makan nasi. Mama bersikeras masak bubur, dan menggorengkan ikan bandeng untuk Oma. Jadi siang itu oma makan bubur + sate ayam yang tanpa saus kacang + ikan bandeng goreng yang aku suwir-suwir untuknya (and ikan itu enaaak sekali, karena aku sempat mencicipnya). Senang sekali melihat dia makan banyak, meskipun tante Ina, keponakannya yang mengantar agak mengomel….. “Nanti kalau kebanyakan maag nya sakit lagi…”
Aku dan mama mungkin sudah merasa, bahwa kami harus memenuhi permintaan Oma Poel. Mama termasuk peka terhadap hal-hal begitu. Kami berempat makan bersama di meja makan, sambil aku menahan tangis. Dia berulang kali mengatakan, “Imelda terima kasih makanannya enak sekali. Ini makanan yang terenak selama ini”. Duhhhh…. makanan yang “biasa” saja untuk kami yang muda dan sehat, tetapi istimewa untuknya. Yang memang tidak bisa lagi makan yang lebih enak atau lebih mahal….meskipun sudah kutanya mau apa. Apa saja akan kubelikan, seberapapun mahalnya. Tapi yang dia minta hanya sesuatu yang sederhana…. Sate Ayam. Ah betapa aku sering tidak bersyukur bahwa aku masih bisa menikmati semua masakan. Aku tidak ada larangan makan ini itu, karena tidak punya penyakit yang menahun misalnya. Apa saja masih bisa, meskipun aku tahu di kepulanganku tahun ini, aku tidak selera makan sama sekali. Selain (mencari) sate padang, tidak ada keinginanku untuk makan sesuatu yang lain. Kemana wishlist aku? (Dan waktu kubicarakan pada Gen, kami berdua sepakat bahwa kami sudah TUA….. tidak /sudah jarang ingin makan ini itu)
Sebelum Oma pulang ke rumahnya di Ciater naik taxi, aku sempat memergokinya duduk sendirian di sofa depan patung Maria di ruang tamu kami. Dia “ngoceh” tidak jelas, dan aku tahu dia berdoa, sambil bernyanyi, tapi tidak jelas di telingaku. Aku menjadi sedih lagi, seorang yang sudah tua, sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sudah “terbuang” dari percakapan orang muda…. mungkin hanya bisa bicara sendiri. Dan untungnya iman Oma yang kuat membawanya pada berdoa dan bernyanyi. Sering kita melihat orang tua yang sering berbicara sendiri, dan mungkin anak-anak menganggap orang gila…. tapi bukannya itu ekspresi hati mereka? Ah … aku ingin duduk di sebelahnya dan mendengarnya bercerita, tapi kali ini dia tidak suka bercerita. Dia hanya menyuruh aku melihat buku album fotonya….
Ya album foto itu dia bawa setiap kali datang ke rumahku. Dan aku HARUS melihat album foto itu, yang sebetulnya isinya adalah foto-foto kami. Foto aku, gen, riku, kai, papa mama, novi, tina semua keluarga di Jakarta. Ah…kenapa aku tidak mengerti saat itu apa yang ingin dia sampaikan ya? Dia mungkin hanya ingin mengatakan, “Lihatlah foto-foto ini yang selalu menghibur aku di kala malam. Di kala aku rindu kalian…..”
Benarkah aku tidak mengerti?
Tidak… aku sudah merasa. Aku tahu dan dia tahu. Bahwa waktunya sudah tidak ada lagi. Sudah cukup. Tapi dia tidak sedih, tidak menangis. Dan aku … berusaha tidak menangis di depan dia. Beberapa kali aku harus membuang muka dan menahan tangisku. Hanya saat terakhir aku mengantarnya ke dalam taxi. Aku memeluk dia erat-erat… tanpa suara…tanpa pesan…. tanpa kata-kata, “sampai tahun depan ya”…
Sampai hari Jumat lalu, tgl 3 September. Seharian aku merasa sedih. Sempat bercakap dengan Ria dan Kika lewat YM, dan aku juga sempat berkata pada mereka bahwa aku sedih. Ntah apa tapi perasaanku tidak enak. Sampai puncaknya aku menangis waktu melihat tayangan malam di televisi, mengenai gereja-gereja di Nagasaki. Ah, aku rindu aktif kegiatan gereja lagi. Mungkin sudah saatnya aku memulainya.
Aku tertidur setelah mendongengkan Kai dan Riku. Tiba-tiba pukul 2 pagi aku terbangun. Dan seperti biasanya aku melihat email lewat HP. Dan saat itu aku melihat pesan dari Novi adikku di FB 3 jam sebelumnya, bahwa Oma Poel kritis di RSPP. Aku langsung terbangun dan menyalakan komputer. Terlambat! Oma Poel sudah meninggal pukul 9:30 malam (11:30 waktu Jepang).
Ah, Oma…. kamu tetap kuat sampai terakhir, masih bisa jalan sendiri. Tapi badan manusia memang ada akhirnya. Setelah pendengaran yang melemah bertahun yang lalu, Maag-mu sudah tidak bisa bekerja menerima makanan. Karenanya kamu dirawat di RSPP sejak kamisnya. Dan menurut cerita papa, papa dan mama masih sempat bertemu kamu Kamis itu dan berdoa bersama. Papa sempat membisikkan: “Jangan takut!” dan kamu sempat berkata, paling senang dikunjungi keluarga kami.
Oma Poel memang tidak ada hubungan darah dengan kami. Dia juga tidak menikah. Dan entah dia pernah cerita atau tidak kepada orang lain, tapi dia pernah bercerita padaku alasannya tidak menikah. Kekasihnya tidak kembali waktu perang …mungkin waktu perang dengan Jepang, aku tidak berani tanya lebih jauh. Cintanya tidak tergantikan. Ah, betapa murni cintanya itu. Dan dia mempersembahkan hidupnya untuk membantu kegiatan gereja terutama setelah pensiun dari pertamina. Lebih dari 30 tahun yang lalu, bersama kepala sekolah SMA Tarakanita, memimpin paduan suara CAVIDO (Cantent in Viis Domine) , yang terdiri dari pemuda pemudi Katolik yang bersekolah di Tarki dan PL. Terus berdiri memimpin setiap minggu, dan mempersiapkan partitur lagu yang akan dinyanyikan dalam misa. Sudah berapa orang “lulusan” Cavido ini, tidak ada yang pernah menghitung. Aku, Novi, dan Tina juga termasuk dalam paduan suara itu…setidaknya sampai aku pergi ke Jepang.
Dan pada misa requiemnya, yang dilaksanakan hari Sabtu lalu begitu banyak anak Cavido yang berkumpul dan mendoakan kepergian Oma. Oma tidak mempunyai anak kandung, tapi Oma adalah Tante/Oma kita semua. Oma diantar ke peristirahatan terakhir dalam suasana sederhana dan khidmat. Tapi kami semua tahu, doa dan hati kami semua selalu untuk Oma…. Oma kami…. Tante/Oma Pauline Fernandes.
Benarkah kamu bukan siapa-siapa?
Kamu adalah seorang wanita yang kuat dan menjadi teladan kami semua. Bagi kami, kamu bukan hanya pemimpin koor, bukan hanya tetangga, bukan hanya teman kerja, bukan hanya umat paroki, bukan hanya seorang kenalan! Kamu adalah oma kami semua, dan yang pasti Oma Poel akan selalu ada dalam hatiku. Maafkan cucumu ini yang sering tak berkabar, yang sering menggodamu, becanda dan berkelakar. Tolong doakan kami semua yang masih ada di dunia sini ya Oma. Anak-anak Cavido hanya bisa mengantarmu dengan lagu-lagu yang engkau senangi waktu pemakaman. Semoga Oma disambut di sana dengan paduan suara yang indah, seindah hidupmu selama 89 tahun ini.
Dan aku hanya bisa bergumam, sambil berdoa rosarioku. Lagu kesayangan kita berdua: Di kebun (In the Garden, Jim Reeves etc)
Aku berjalan di kebun
waktu mawar masih berembun
dan kudengar lembut suara
Tuhan Yesus memanggil
Dan berjalan aku dengan Dia
dan berbisik di telingaku
bahwa Aku adalah milikNya
Itu saat bahagia….
Sampai Jumpa Oma Poel Fernandes (18 Februari 1921 – 3 September 2010).
I love you…..
Sayaaaaaaang sekali…..
.
.
. terima kasih atas “dorongan” Liona Lee untuk menuliskan posting ini secepatnya. Semoga bisa mengusir rasa bete kamu ya…
Disaster Prevention Day adalah bahasa Inggrisnya Bousai no hi 防災の日 dan kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi hari pencegahan bencana. Wait! Bencana ALAM tidak bisa dicegah, tapi KORBAN bisa diperkecil, dengan segala macam pengetahuan dan persiapan/kesiapan kita menghadapi bencana itu. Jadi yang lebih tepat adalah Pengurangan Korban Bencana.
Jepang memang negara Gempa. Tidak bisa diganggu gugat lagi. Dan orang Jepang sudah mengerti hal itu sejak lahir. Karena kesadaran itu pulalah mungkin orang Jepang “halus” hatinya, menghargai seni budaya dan interaksi dengan manusia. Bagaimana sih perasaan orang yang harus selalu “alert”, pasti lebih binkan, lebih perasa. Yah, ini sih menurut aku saja, tanpa ada penelitian yang lebih mendalam (dan pastinya bukan karena “gempa” ini saja yang membuat manusia Jepang seperti ini).
Tanggal 1 September ditetapkan sebagai hari pencegahan korban bencana, karena 87 tahun yang lalu telah terjadi Gempa Bumi Besar Kanto yang memporakporandakan Tokyo. Oleh karena itu setiap tanggal 1 September kami diingatkan kembali akan dampak gempa bumi, dan biasanya menjelang tanggal 1 September ini dimana-mana diadakan pameran/latihan/kegiatan yang berkaitan dengan bencana.
Jadi kemarin pukul 13:40 aku harus ke SD Riku untuk melakukan latihan penyerahan murid kepada orang tua/wali jika terjadi bencana hikiwatasu kunren 引き渡す訓練. Jika terjadi bencana apapun, murid berada dalam pengawasan dan perlindungan sekolah. Untuk itu, murid hanya akan diperbolehkan pulang jika orang tua atau wali datang menjemput. Jika tidak, maka murid akan tinggal terus di sekolah sampai ada komunikasi dari/ ke orang tua. Pihak sekolah hanya akan menyerahkan murid kepada orang yang namanya tercantum di daftar “hubungan darurat”, sehingga jika ada orang lain yang tidak tercantum mau menjemput anak itu, tidak akan diserahkan. Tentu ini juga mencegah adanya penculikan. Pokoknya murid benar-benar merupakan tanggung jawab pihak sekolah.
Lalu bagaimana seandainya murid itu tidak dijemput-jemput. Jangan takut, di sekolah tersedia makanan dan minuman, juga peralatan tidur. Karena pada dasarnya sekolah negeri merupakan tempat pengungsian kami. Kami juga jika berada dalam keadaan harus mengungsi, kami akan mengungsi ke SD Riku, sebagai sekolah negeri (pemda) yang terdekat. Karena itulah perlu sekali mengenal masyarakat sekitar kami, karena kami akan hidup bersama dengan mereka jika terjadi apa-apa.
Untuk pengenalan masyarakat juga, pada hari Sabtu yang lalu, tgl 28 Agustus, di sekolah Riku diadakan Festival Bousai. Di lapangan sekolah mobil pemadam kebakaran termasuk yang jenis bertangga tinggi (hashigo-sha はしご車) diparkir. Dalam dua kali kesempatan 40 anak bisa menaiki tangga dari mobil tersebut dan “mencapai angkasa”. Bayangkan tinggi tangganya saja melebihi tinggi sekolah mereka. Suatu pengalaman yang jarang ada, sehingga Riku langsung antri supaya dapat menaikinya. (Sayang sekali orang dewasa tidak mendapat kesempatan itu…hiks…kadang… iri deh dengan anak-anak karena boleh mengalami hal-hal yang jarang bisa dialami)
Selain menaiki tangga mobil pemadam kebakaran, kami bisa mencoba memasuki ruangan berasap. Ceritanya dalam kebakaran, betapa kami tidak bisa melihat apa-apa dan dalam kepanikan, ruangan kecil rasanya sulit sekali untuk dilewati.Aku bersama Kai memasuki ruangan itu, dan memang benar-benar kami tidak bisa melihat apa-apa. Itu belum pakai bau asap, cuma pandangan terganggu. Kalau pakai asap, sudah pasti kami sulit bernafas juga. Hiiii ngeri.
Kemudian aku juga mencoba goncangan gempa berskala 7 Richter, dengan menaiki mobil simulasi. Well aku ternyata tidak mengetahui informasi terbaru. Yaitu ” First of all…. yang utama adalah melindungi diri sendiri dulu”. Dalam kepalaku masih informasi lama yang menyuruh mematikan api dan listrik selekas mungkin. Jadi waktu guncangan pertama terjadi, kami harus meringkuk, memasukkan kepala ke bawah meja untuk melindungi kepala dari kejatuhan benda-benda. Itu yang utama. Well, yang pasti kalau bersama anak-anak, memang itu yang selalu aku lakukan. MASUK MEJA! eh…meringkuk di bawah meja tepatnya.
Selain mencoba “pengalaman” jika terjadi bencana ini, kami juga bisa melihat gudang penyimpanan barang-barang darurat yang memang disimpan di salah satu ruangan gedung SD itu. Popok untuk orang dewasa, selimut, makanan kering berupa crakers, peralatan mensteril air kolam renang sekolah menjadi air minum, wc darurat, kompor minyak tanah dan lain-lain.
Dan sebagai penutup Festival Bousai itu, diadakan pertunjukan oleh tokoh-tokoh pahlawan, seperti tokoh pemadam kebakaran (well, setiap “kebaikan” dilambangkan dengan satu tokoh karkater yang mudah diingat anak-anak). Selama pertunjukan juga diberikan beberapa kuis misalnya cara untuk menolong orang yang dehidrasi bagaimana…dsb. Tentu saja di akhir pertunjukan yang baik selalu menang.
Dengan membawa hadiah “sticker” yang diserahkan langsung oleh si “Hero”, Kai dan Riku pulang dengan wajah berseri …dan merah karena panas. Sejak kami kembali ke Tokyo, suhu udara di Tokyo teruussss max 35-36 derajat. Mati deh gue.