Sebetulnya sebelum melihat pameran wayang beber di Museum kertas yang aku sudah tulis di postingan BEBER sebelum ini, kami berkesempatan mengikuti praktek membuat kertas berupa kartu pos. Buru-buru karena kesempatan mencoba hampir ditutup. Kami ikut antri di lantai basement Museum Kertas tempat kegiatan ini dilaksanakan.
Di meja pertama, aku dan Riku mendapat penjelasan bagaimana kertas itu dibuat. Dan waktu itu diperlihatkan bahwa kami akan memakai bekas kemasan susu segar. Kemasan susu itu sebetulnya mempunyai tiga lapisan, jika dua lapisan yang paling luar dikuliti, maka dapat kita lihat kertas yang berserat. Kertas ini dapat direndam air, dan menjadi bubur kertas (karenanya untuk bisa dimasuki susu diberi lapisan kertas tahan air). Nah karena semua sudah dipersiapkan petugas, kami tinggal mengikuti urutannya saja. Lebih afdol memang kalau melihat fotonya ya.
Kami diminta memilih sebuah saringan kawat bermotif. Motif ini akan menjadi motif bayangan di dalam kertas. Seperti motif bayangan di uang kertas deh. Riku memilih Doraemon, sedangkan aku memilih burung bangau. Burung bangau adalah burung pembawa keberuntungan bagi orang Jepang, dan bisa dipakai kapan saja, tidak perlu melihat musimnya. Sulit memang tinggal di Jepang, apa-apa harus memikirkan musim. Misalnya ya jangan mengirim gunung bersalju di musim panas…. something like that deh. Harus timely gitchuuu.
Setelah memilih saringan kawat halus bermotif itu, kami boleh memilih dua guntingan kertas bermotif, atau daun maple. Kertas/daun ini nanti akan “tertanam” dalam kertas putihnya dan mempercantik kartu posnya. Memang daun maple bagus sih ya, cocok dibuat motif. Sebetulnya bisa sih kalau mau memasukkan motif yang lain, tapi adanya cuma itu. Jadi aku dan Riku memilih daun maple beda ukuran.
Nah dengan tambahan motif itu, kami pindah ke meja dengan bak berisi air, dan di sebelahnya bak bubur kertas. Kami masukkan saringan bermotif itu dalam bak, dan sambil merendamnya kami masukkan bubur kertas separuh dan motif daun di tempat yang tidak menutupi motif burung bangau tadi. Jika burung bangaunya di kanan bawah, maka motif daun maple tadi ditekan di bagian atas.
Kemudian kami angkat saringan tadi, yang terbawa adalah bubur kertas+ motif, seperti adonan pudding. Kemudian saringan yang masih mengandung banyak air itu diperas airnya, dengan cara ditekan, dipress dengan alat khusus. Sehingga seluruh kandungan air bisa keluar.
Dan terakhirnya tinggal mengeringkan kertas itu memakai seterika. Finishing touch nya cap tempat perangko dan 7 kotak nomor kode pos Jepang.
Seluruh prosesnya amat cepat (tidak sampai 10 menit) dan menarik, sehingga rasanya kok ingin mempunyai alat itu, dan membuat kartu pos sendiri. Mengirim kartu pos buatan sendiri pasti lain dari yang lain ya. Apalagi kalau ditambah tulisan made in imelda (bukan made in bali Madenya orang Bali loh hihihi). Dan memang toko museum dijual juga kit beserta keterangan untuk pembuatan kertas dari bekas kemasan susu, tapi harganya cukup mahal (menurut aku sih, sekitar 1200 yen).
Memang kertas dari kemasan susu ini tidak bisa kena hujan, karena dia nanti akan kembali lagi menjadi bubur kertas. Tapi justru itulah letak prinsip daur ulangnya. Kertas itu bisa didaur-ulang tanpa batas, dan dengan waktu yang cepat. Jadi daripada menggunakan plastik lebih baik menggunakan kertas kan?
Dalam museum memang menjelaskan bahwa konsumsi kertas di Jepang 61% adalah dari kertas bekas yang diolah kembali, 19% dari hutan, 14 % dari kayu tak laik pakai atau limbah kayu (semisal bangunan) dan 6% pulp impor. Kalau dilihat persentasinya, kita bisa tahu bahwa memang Jepang sudah menjalakan eco-paper. Aku tidak tahu bagaimana dengan Indonesia. Mungkin perlu ada penelitian lebih lanjut. Karena Jepang bisa mengolah 61% kertas dari kertas bekas berkat sistem pembuangan sampah yang teratur dari warga, yaitu warga sendiri rajin memilah sampah menurut jenisnya.
Namun sayangnya konsumsi kertas di dunia terbesar dipegang oleh Amerika, dan Jepang mungkin hanya nomor 4 atau 5 saja (dihitung per kepala). Padahal seakan-akan Jepang banyak memakai kertas. Aku sempat menanyakan hal itu pada petugas di sana. Memang Jepang masih banyak memakai plastik, meskipun plastikpun akhirnya didaur-ulang juga. Aku tidak tanya sih, mana yang lebih murah ongkosnya, daur ulang kertas atau daur ulang plastik. Tapi menurut perkiraanku (mungkin saja salah) daur ulang plastik lebih mahal, karena tidak setiap jenis plastik bisa diolah kembali.
Museum Kertas ini sudah berdiri selama 60 tahun sejak 1950 menempati bekas pabrik Kertas Ouji dan berfungsi untuk menyimpan dokumen mengenai kertas baik kertas buatan Jepang maupun buatan Eropa. Pabrik Kertas Ouji sendiri merupakan pabrik kertas pertama di Jepang (dan ke 6 di dunia) dan didirikan tahun 1873. Pada tahun 1998 Museum Kertas menempati bangunan baru yang sekarang yaitu di dalam Taman Asukayama, bersama 2 museum yang lain.
Paper Museum:
1-1-3 Ouji Kita-ku Tokyo, 114-0002
http://www.papermuseum.jp
HTM: Dewasa 300Yen, pelajar 100Yen
ssst jangan tanya saya soal pabrik kertas di Indonesia ya. Yang pasti beberapa saat yang lalu saya menerima artikel lewat milis, bahwa pabrik kertas leces terganggu operasinya karena tidak ada pasokan gas, karena berhutang sampai 41 milyar rupiah. Saya juga suka heran tentang kertas daur ulang di Jepang, kok hasilnya bisa putih. Soalnya kalau di Indonesia kan kertas daur ulangnya coklat tuh dan kasar. Di sini sampai tidak tahu bahwa itu kertas daur ulang. Dan seperti yang pernah aku tulis (lupa di postingan mana) orang TETAP akan membeli kertas daur ulang meskipun harganya sedikit lebih mahal dari kertas baru. Kata Gen itu sebagai prestige, bahwa perusahaannya ramah lingkungan. Wew…. Kalau kertas daur ulang tetap dipakai masyarakat, tentu saja akan maju dan diproduksi terus.
itu yang menarik dari Jepang.. seni kertas
orang TETAP akan membeli kertas daur ulang meskipun harganya sedikit lebih mahal dari kertas baru. Kata Gen itu sebagai prestige, bahwa perusahaannya ramah lingkungan.
Oh, ini rupanya. Kalo kita mungkin masih berkutat di masalah lain-lain ya..
waktu di asrama dulu, pernah juga panitia dies asrama menampilkan semacam workshop daur ulang gitu. aku agak lupa apa ya dulu judul kegiatannya. tapi yg jelas di situ ditunjukkan pembuatan kertas daur ulang. dulu aku sempat koleksi tuh kertas daur ulang, utk bikin kartu.
aku sangat setuju dengan aktivitas daur ulang. dan kupikir sebaiknya kita memakai produk daur ulang. yg jelas, hal itu lebih ramah lingkungan dan menunjukkan bahwa kita memang bagian dari solusi permasalahan lingkungan.
Jadi inget pas SD dulu, disuruh bikin prakarya…bikin kartu2 gitu jg deh kl ga salah.
Lagian kertas daur ulang bagus jg kok kalo kita kreatif. Bisa jadi duit tambahan lagi! Juga ngedukung green earth, hehehhe
😀
Senada dengan Kris, di asrama ada salah satu kegiatan dies, memproses kertas daur ulang. kalau nggak salah ingat nama kegiatannya waktu itu kotakatikotakita (kotak-katik kota kita)
kegiatan yang bermanfaat tuh… aku juga sempat koleksi beberapa produk kertas daur ulang aneka motif untuk buat kartu sendiri.
Hasil akhir kartu pos Riku mana nih Mbak?
apakah nanti Indonesia akan mengimpor kertas daur ulang ?? hehehehehe…
sepertinya gitu deh :p apalagi kalo bisa lebih murah 😀
sebenarnya pabrik kertas di Indonesia hanya kegiatan produksi kertas yang berlokasi di Indonesia. tapi kenyataannya harga kertas di Indonesia selalu dihubungkan dengan dollar. berarti komponen rata2 dari luar.
Senang rasanya jika melihat prakarya itu hasil dari bahan daur ulang. Artinya bisa menghemat persediaan pohon. Soalnya, pohon di daerahku sudah mulai menipis. Beberapa perusahaan kayu yang selama ini beroperasi dengan jayanya sekarang udah mulai kolaps.
Aku pengen bikin dari kertas daur ulang dan adaakah yang ingin ngajarain
Cmiiw, warna kertas daur ulang tergantung dari bahan dasarnya. Kalau misalnya pakai kertas yang udah ditulisi, tentu tintanya nggak bisa hilang begitu aja. Untuk bisa putih, mesti pakai chemical juga. Semakin putih semakin banyak chemical yang digunakan, begitu katanya mbak — ini juga salah satu alasan mengapa kita harus membatasi penggunaan kertas tissue. Orang-orang pasti demen pakai kertas tissue yang warnanya putih bersih dibanding yang agak cream misalnya. Tapi cost-nya terhadap lingkungan mahal. 🙂
Selamat hari minggu!
*manggut-manggut*
Ternyata jawaban Yessy benar!! *joged-joged pisang*
Rasanya iri deh…betapa anak-anak di Jepang bisa kreatif karena bisa melihat proses industri, misalkan membuat kertas, kemudian melihat hasilnya….
Saya malah baru tahu proses membuat kertas setelah bekerja di Perbankan, saat meninjau klien yang bergerak di bidang usaha industri kertas…kadang berpikir, bagaimana ya me link kan antara industri dengan dunia anak-anak agar mereka bisa melihat industri yang sebenarnya…jujur aja memang ada risiko jika anak-anak yang belum cukup umur diajak melihat pabrik kertas, karena mesin2nya besar, beroperasi 24 jam tanpa henti.
Saat anak-anakku usia SD, pernah diajak datang ke reuni alumni, meninjau Pupuk Kujang, dan ada acara melihat proses produksi.
Iri dot com. Hehehe….anak-anakku pasti suka banget tuh ke sana…
Pernah mereka belajar bikin tempelan kulkas dari koran bekas, akibatnya di rumah terus menerus minta bikin…hehehe maknya puyeng lagi (berantakan.com)
wisata pendidikan yang menyenangkan
di sini juga kurasa udah banyak produksi kertas daur ulang
buktinya kertas apapun yang ada di tempat sampah pasti diambil pemulung
Kertas daur ulang memang pasti lebih mahal ya, di gramedia itu banyak kertas daur ulang warna coklat harganya mahal….
Jelas kalo di Indo orang pasti milihnya kertas biasa, lebih hemat…. 🙂
dan sebagai informasi mbak…disini perusahaan kerta hampir gulung tikar karena kurangnya pasokan kayu, semakin hari kan hutan semakin gundul. dan kalaupun mereka punya hutan sendiri untuk produktivitas mo nunggu bertahun tahun 😀
senangnya jika semua orang berfikiran menjaga lingkungan, at least memulainya dari diri sendiri dulu…nice posting mbak!!! mesti kukirim ke temenku nih biar pada hemat kertas hehehehehe.
kalo soal melipat2 kertas memang jepang tempatnya…dan rasa2nya mudah membuatnya padahal susah sebenarnya ya..perlu ketelitian, sehingga karya yg diciptakan bagus dan ada nilai seninya
wah, pastinya ada cara yg khusus ya Mbak Mel, utk membuat kertas daur ulang tsb bisa putih bersih seperti kertas yg baru.
Negeri Jepang memang selalu penuh inovasi .
Salam
Asyik ya Mbak, tour di Musium kertas dan praktek langsung bikin kertas daur ulang. Lumayan juga tuh harga tiket masuknya, kalo di Indonesia nggak laku tuh masuk ke Musium sampai puluhan ribu rupiah gitu…
..
kertas daur ulang meski gakputih banget, tapi nyeni loh.. 🙂
..
pasti pengalaman yang sangat berharga buat Si Riku, semoga nanti dia lebih peduli dengan pemakaian kertas dan jadi penyelamat lingkungan tentunya.. 😉
..
Semestinya di Museum yang bersifat Education untuk anak2 di Indonesia di adakan juga kegiatan seperti ini yach mbak.
Sayang, ketika saya berkunjung ke Museum Iptek TMII dan Taman Pintar di Jogja, kegiatan seperti ini belum ada. Malah yang saya sayangkan berbagai peralatan uji coba rusak dan terkesan tidak terurus, padahal biaya tiket masuk lumayan mahal.
Nah, kapan mbak Imelda ke Jakarta, kita janjian bareng ajak anak2 kita ke Museum yuk ?.
Best regard,
Bintang
Dulu waktu anak2, mungkin SD, pernah baca buku keterampilan, saya pernah coba2 buat relief dari kertas koran yang ditumbuk, tapi gagal.. padahal saat itu rasanya penasaran sekali pengen coba.. tapi ga ada guru yang mengajarkan.. mungkin kalo cara daur ulang kertas seperti ini dikasi liat ke anak kecil, mereka pasti antusias sekali..
Saya pilih yang motif doggy… 🙂
Wah keren ya …
Ada Alat / Kit untuk membuat kartu pos sendiri …
Ini asik nih … bisa customized …
khusus … nggak ada duanya …
nggak dijual di toko-toko …
jadi Kartu Pos … atau kartu-kartu yang lain bisa terasa lebih special …
Salam saya EM
waaaaa, Yessy pernah liat di TV bagaimana cara membuat kertas daur ulang. Cara di awalnya sama, mbak. Hanya di akhirnya berbeda, karena kertas daur ulang di Indonesia tidak harus di tekan untuk di keluarkan airnya. Dan juga tidak di gosok segala. Melainkan cuma di jemur si bawah sinar matahari. Makanya kalo Kertas daur ulang di Jepang cum makan waktu pembuatan 10 menit, di Indonesia bisa 3 hari 🙂
Kalao masalah kertasnya gak bisa putih, Yessy rasa itu tergantung dari kertas dasarnya mbak. Kalau dari koran yang banyak tintanya, mana bisa putih? kalau mau putih bahan pemutihnya kudu banyak, dan itu biayanya mahal. Eh…bener gak sih jawaban Yessy itu???
Mbak..
mau lho aku dikirimi kartu post daur ulang 😛
ternyata contoh hal2 baik ,belum tentu bisa berjalan dengan baik di negeri kita .perlu sosialisasi terus menerus dan itu terbentur biaya .susah juga ya.