Ratu Kopdar?

24 Mar

Terus terang saya tidak berniat mendapatkan gelar “kehormatan” itu. Sama sekali tidak. Tapi memang saya suka bersilahturahmi, terutama bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah saya temui. Ya tentu saja setting “pertemuan” adalah di blog dulu, baru kemudian di dunia nyata. Atau yang dikenal dengan nama kopdar a.k.a kopi darat (istilah Jepangnya sih malah Off Air atau Off Kai — lawan dari On air—) . Padahal blogger itu kan ketemunya bukan di udara ya?

Hari ini cuaca cerah, meskipun kemarin diprediksikan akan turun hujan. Rupanya awan mendungnya takut dan baru muncul besok. Jam 7 anak-anak sudah bangun dan jam 8 sudah selesai makan pagi semua. Sambil beberes, nonton TV melewati hari. Saya sempat masak kare Jepang untuk makan malam. Jam 11 siang Kai tertidur. Saya pikir mau coba suruh Riku pergi keluar sendiri. Saya minta dia untuk belikan es krim di toko dekat rumah, tapi dia tidak mau. Tidak ada nyali untuk pergi sendiri. Susah deh saya…

Akhirnya saya ajak dia jalan ke luar rumah dengan alasan membeli sayur. Saya suruh dia jalan duluan untuk melihat apakah ada petani yang berdagang sayur di depan ladangnya. Ternyata tidak ada sayur yang saya inginkan. Jadi setelah coba pergi ke dua tempat kami segera kembali ke rumah. Saya harus putar otak terus bagaimana cara untuk memberikan keberanian pada Riku untuk keluar rumah sendirian. Tadi sempat saya tepis halus tangannya yang mau menggandeng saya terus. Duuuh anakku, kamu harus belajar mandiri!!! Kita tinggal punya waktu 2 minggu untuk latihan sebelum kamu masuk SD. Di sini murid SD harus berangkat ke sekolah sendiri, JALAN KAKI!!!

Nah, apa hubungannya dengan judul di atas? Ternyata sekitar jam 1 saya mendapat telepon dari Wita (http://doppelgangerishere.wordpress.com/) yang mengabarkan dia sudah berada di Stasiun Tokyo, dan minta dikasih tahu bagaimana caranya ke stasiun Kichijoji. Sempat kaget juga, karena saya pikir dia tidak jadi datang. Kemarin memang dia bilang akan menghubungi jika jadi ke rumah saya. Wita sedang berada di Aomori (utara Jepang), dalam rangka liburan, dan dia dengan sengaja menghabiskan waktu 3 jam naik shinkansen dari Aomori untuk bertemu saya (meskipun aku tahu tujuannya untuk ketemu KAI dan RIKU bukan saya hihihi)!

Jam 2:30 an Wita  tiba dengan selamat di depan pintu rumah saya. Bayangkan dari Aomori jam 10 pagi… sampai rumah saya jam setengah 3. Hampir 5 jam perjalanan euy. Hebat!! Untuk orang yang tidak bisa membaca kanji (bisa mengerti bahasa Jepang) bisa sampai di depan rumah saya hanya dengan 3-4 kali telpon/email itu hebat! Salut saya dengan kemauannya pergi sendiri.

Setelah duduk, saya tanya apakah sudah makan?

“Sebetulnya belum neechan”

ASTAGA… udah jam 3 jeh. Lalu saya tanya mau makan apa? Apa ada makanan jepang yang belum dicoba? Ternyata sodara-sodara, Wita ini rindu masakan Indonesia karena sudah 2 minggu makan masakan Jepang terus…hihihihi. Jadi senyumnya mengembang waktu saya bilang, saya ada sisa soto ayam karena kemarin saya buat soto ayam (dan untuk makan siang hari ini juga karena anak-anak suka). Saya panaskan soto ayamnya, dan menyuguhkannya. Aduuuh segitunya kepengen masakan Indonesia. Dan lengkaplah kebahagiaan Wita (eh kamu bahagia ngga ya? ) karena waktu tengah dia makan soto, saya teringat masih ada rendang Natrabu di lemari es saya! Soto ayam dan Rendang!!! (kombinasi yang aneh ….)

Aduuuh Wita jauh-jauh kamu datang, hanya aku suguhin Soto, Rendang dan koneksi internet (katanya di Aomori lemot). Eh ditambah kue ontbijtkoek – fresh from the oven -yah sebagai temannya ngopi. Coba kalau kedatangannya direncanakan lebih matang, bisa dimasakin bakso atau apa aja deh yang kamu kepengen.

Jam 5 sore dia pulang untuk memulai perjalanan 5 jam lagi kembali ke Aomori. Otsukaresamadeshita dan selamat menikmati sisa liburannya! So,  ini adalah kopdar Tokyo yang pertama!!! Ayo, Siapa lagi yang menyusul datang ke rumah saya? (Atau ketemu di stasiun Tokyo/ Shinjuku deh… kalau Narita ogah! jauh dan mahal hihihi) Saya tunggu loh. Tapi musti kasih tahu dari jauh hari ya, supaya disiapin masakannya, dan mungkin jangan masakan Indonesia ya hihihi.

Okuribito – Sang Pengantar

24 Mar

Orang Jepang boleh berbangga karena salah satu filmnya tahun 2008 mendapat penghargaan film berbahasa asing terbaik Academy Awards ke 81, th 2008. Juga mendapat beberapa penghargaan dari berbagai festival film lainnya baik nasional maupun internasional. Judul bahasa Jepangnya Okuribito (Sang Pengantar), atau dalam bahasa Inggrisnya Departures.

Saya tidak suka menonton film. Maka ketika kami pergi ke rumah mertua di Yokohama hari Sabtu lalu, dan ibu mertua mengatakan bahwa dia sudah membeli DVD Okuribito ini, saya tidak begitu antuasias. Apalagi saya bisa membayangkan isi ceritanya. Lah, artinya saja Sang Pengantar, dan bukan sembarangan pengantar. Dia bertugas mengantar jenazah sebelum dikremasikan. Suatu jenis pekerjaan yang dianggap hina oleh sebagian orang, karena berurusan dengan mayat! Langsung memegang mayat! Bahkan penggali kuburpun belum tentu harus memegang mayat. Tapi si Okuribito ini WAJIB memegang mayat.

Saya rasa bukan hanya karena pesan atau isi cerita yang bagus saja sehingga film ini dipilih menjadi film terbaik. Pemain utamanya Motoki Masahiro alias Mokkun adalah favorit saya. Ada beberapa film dia yang sudah saya tonton. Yang terlucu adalah “Shiko funjatta”. Orangnya keren, garis wajahnya tidak sekeras Abe, malah kelihatan “manis”. Tapi yang membuat saya suka padanya juga karena kehidupan pribadinya di belakang layar juga harmonis, seorang ayah dengan dua anak. Semestinya kehidupan pribadi seseorang tidaklah boleh menjadi satu penilaian dalam mengapresiasi film. Tapi saya tidak bisa mengabaikan pemikiran bahwa saya memang “melihat” orang itu luar dalam.

Cerita bermula dengan kisah pemecatan seorang pemain cello dari Orkes Kamar yang terpaksa dibubarkan. Daigo Kobayashi terpaksa menjual cello yang dibelinya seharga 1.8000.000 yen dan pulang kembali ke kampung halamannya di Yamagata bersama istrinya. Dia menempati rumah yang ditinggalkan ibunya yang meninggal 2 tahun sebelumnya. Rumah itu bekas night club (snack) yang sebelumnya pernah juga menjadi kedai kopi yang dikelola ayahnya. Ayah Daigo ini meninggalkan rumah itu sewaktu Daigo masih kecil, bersama perempuan muda yang dicintainya. Ingatan Daigo akan ayahnya hanyalah betapa dia harus merasa tersiksa berlatih cello sejak TK. Sedangkan wajah ayahnya pun dia tidak ingat.

Segera setelah kepindahan ke Yamagata, Daigo mencari lowongan pekerjaan dan mendapatkan iklan mencari pegawai di NK Agency. Di iklan tersebut hanya dikatakan “membantu perjalanan”, jadi dia berpikir menjadi guide atau koordinator travel. Tapi ternyata NK Agency itu adalah singkatan dari NouKan Agency, yang berarti “penaruh jenazah ke dalam peti”. (Mungkin kalau di Indonesia kita bisa bayangkan orang yang pekerjaannya memandikan jenazah ya). Kantor itu sendiri terdiri dari Direktur Sasaki Shoei, dan sekretarisnya. Daigo langsung diterima dan membawa pulang gaji pertamanya sebesar 500.000 yen (gaji yang besar, lebih besar dari gaji pegawai biasa!)

Karena gaji besar itulah, dia mencoba bertahan, dan menjalankan tugas pertamanya yaitu menjadi “jenazah” untuk pembuatan video ahli Noukan. Tantangan pertama selesai, dihadapi dengan tantangan kedua, yaitu harus membantu Sang Direktur untuk “menghias” jenazah seorang nenek yang ditemukan 2 minggu setelah meninggal. Sambil muntah-muntah (maaf….) dia melaksanakan tugasnya yang pertama sebagai (asisten) Noukan. Pengalaman dengan mayat yang sudah membusuk itu dilewati tidak dengan mudah. Apalagi setelah istrinya menemukan video yang memalukan itu dan memintanya untuk berhenti. Tapi Daigo berkeras untuk melanjutkan pekerjaan yang dianggap hina oleh istri dan teman-temannya, sehingga istrinya meninggalkan dia.

Daigo mulai “menikmati” pekerjaannya, dan mulai melaksanakan tugasnya sendiri, bukan sebagai asisten. Sampai pada suatu hari istrinya kembali dan membawa kabar bahwa ia mengandung anaknya, dan untuk itu minta… memohon agar Daigo berhenti bekerja sebagai Noukan. Tepat saat itu ada telepon yang memberitahukan kematian seorang kenalan mereka, nenek yang mempunyai public bath (sento). Saat mereka melayat, istrinya pertama kali melihat “kerja” suaminya, yang mendandani jenazah yang terbujur kaku, mencuci, mengganti kimono dan merias wajahnya, sehingga bisa tampil cantik di dalam peti jenazah. Nenek itu adalah ibu dari temannya yang mencemooh dia karena bekerja sebagai noukan. Dan saat itu mereka menyadari betapa penting dan indahnyanya pekerjaan Daigo.

Istri Daigo yang sudah menerima suaminya bekerja sebagai Noukan menyambut musim semi dengan riang. Tapi seorang  petugas pos mengantar telegram yang mengabarkan kematian ayah Daigo yang sudah lama tak diketahui kabarnya. Dilema bagi Daigo apakah dia akan pergi menemui ayahnya yang sudah meninggal atau tidak. Dia benci pada ayahnya yang sudah meninggalkan dia demi seorang wanita lain. Tetapi ternyata sang ayah tidak bersama siapa-siapa, dia bekerja sebagai pembantu nelayan di pelabuhan sampai akhir hidupnya. Daigo akhirnya melayani ayahnya untuk yang terakhir kalinya sekaligus memperbaiki hubungan mereka.

Sebuah film yang menguras airmata, karena memang kematian itu menyedihkan bukan? Tapi kematian adalah suatu tahap yang mau tidak mau kita lalui. Film yang bagus dan layak untuk ditonton, hanya sayangnya belum ada versi bahasa Inggris. Melalui film ini selain mengetahui kebudayaan Jepang, juga bisa melihat sisi kemanusiaan yang universal.

Perlu saya tambahkan di sini bahwa Motoki sendiri yang memilih skenario ini untuk dia pelajari, dan proses pembuatan film memakan waktu 10 tahun. Diapun mempelajari cara memainkan cello dengan sungguh-sungguh, dan sebelum pemutaran film, dia tampil di muka masyarakat yamagata, tempat lokasi film itu. Sang produser juga tidak berharap film ini akan laku untuk kepentingan komersial karena isu yang dibawa sangat peka, menyangkut tatanan hidup bangsa Jepang. Perlu diketahui juga bahwa pekerjaan seperti ini, yang menyangkut orang mati, dulu merupakan pekerjaan yang hina yang hanya dilakukan oleh pendatang (terutama orang korea). Memang bukan seperti perbedaan kasta, tapi yang jelas pekerjaan ini hina.