Kenapa namanya desa Setengah Hari? Ya, karena desa itu hanya “hidup setengah hari saja”. Kalau desa-desa lainnya, bangun pada terbitnya matahari kemudian bekerja dan kembali ke rumah untuk beristirahat pada waktu petang selama kira-kira 12 jam, maka desa Setengah Hari ini hanya menikmati “matahari” selama 6 jam saja. Sedangkan malamnya 18 jam.
“Brrrrr dingiiiiinnnnn. Saya akan memulai menceritakan sebuah desa yang bernama “Desa Setengah Hari”. Baruuuuu akan mulai cerita saja, saya sudah menggigil. Desa itu adalah desa yang dingiiiiin. Habis, di desa itu hanya setengah hari saja terangnya. Loh, kenapa kok setengah hari? Ya, di belakang desa itu ada sebuah gunung yang amat tinggi. Pagi hari waktu sang matahari terbit, karena tertutup gunung itu, sinarnya tak terlihat. Setelah tengah hari, akhirnya matahari yang sudah tinggi menampakkan wajahnya dari balik puncak gunung itu. Barulah desa itu menjadi terang…. menjadi pagi. ”
Begitulah baru pada tengah hari, pagi datang dan segala kehidupan di desa itu berjalan. TAPI, pagi itu hanya sebentar karena segera menjadi senja. Dan jika senja hari tiba, angin bertiup dari danau yang berada di muka Desa Setengah Hari itu menyebar ke seluruh desa dan mebuat desa itu menjadi dingin. Kehidupan terhenti. Apalagi pagi yang ditanam di desa itu, tidak cukup matahari sehingga hasil produksi padi hanyalah setengah dari jumlah produksi padi desa lain. Akibatnya penduduk desa itu semua kurus,pucat dan lemah.
Di desa itu hidup seorang anak bernama Ippei. Pada suatu malam dia mendengarkan percakapan kedua orang tuanya. Yang membicarakan tentang desa mereka yang aneh. Seandainya tidak ada gunung itu… apa daya gunung tak dapat dipindahkan!
Keesokan harinya Ippei naik ke gunung membawa kantung. Mengisi kantungnya dengan bebatuan dari gunung itu, lalu menuruni bukit menuju ke danau. Dibuangnya bebatuan itu ke dalam danau. Setelah beberapa kali melakukan itu, siang pun tiba. Teman-teman Ippei melihat Ippei melakukan sesuatu yang aneh dan bertanya, “Ippei kamu ngapain?”
“Aku mau membenamkan gunung itu dalam danau!”
“GILA!” semua temannya menertawakan Ippei. Namun Ippei tidak peduli dan terus melakukan pekerjaannya. Memindahkan bebatuan gunung ke dalam danau. Setiap hari!
Lama kelamaan teman-teman Ippei melihatnya, menjadi ingin tahu dan ikut-ikutan membawa kantung serta meniru Ippei. Satu-dua orang lama kelamaan seluruh teman Ippei melakukannya karena tidak mau ketinggalan.
Orang dewasa yang melihat kelakuan anak-anaknya berkata, “Goblok, kalau mau mengangkut batu jangan pakai kantung! Pakai karung seperti ini!” Lalu kalau mau menggali, caranya begini. Satu-dua orang dewasa mulai mengajari anak-anak itu. Dan lama kelamaan semua orang dewasa ikut mendaki gunung dan memindahkan bebatuan itu ke dalam danau. Karena jika dia saja tidak ikut, merasa dikucilkan dari kegiatan desa. Dan perasaan matahari timbul lebih cepat dari biasanya!
Bertahun tahun mereka melakukan itu. Orang dewasa meninggal dan Ippei yang kanak-kanak menjadi dewasa. Namun kegiatan itu tidak terhenti. Anak Ippei dan teman-temannya sebagai ganti bermain, mengusung bebatuan dari atas gunung dan memindahkannya ke danau.
Sampai suatu pagi, ketika ayam berkokok, matahari pun menyinari seluruh desa Setengah Hari. Puncak gunung menjadi datar, dan danau yang ditimbuni batu-batu gunung itu luasnya menjadi setengahnya. Di atas setengah danau itu pun dijadikan sawah. Dan sejak saat itu Desa Setengah Hari berubah nama menjadi desa Sehari.
NOTHING IS IMPOSSIBLE!
“Desa Setengah Hari” Hannichi Mura, (1400 yen) diterbitkan tahun 1980 oleh penerbit Iwasaki Shoten. Pengarangnya Saito Ryusuke (cerita) dan Takidaira Jiro (hangga). Cerita ini langsung masuk dalam buku teks pelajaran di Sekolah Dasar Jepang. Hangga adalah seni cetak dengan memakai cetakan cukilan kayu (seperti cap) . Salah satu jenis seni rupa Jepang yang menggugah kesenian global. Jika Anda pernah mendengar UKIYO-E maka itu adalah salah satu hasil hangga.
Isi cerita diterjemahkan dan dirangkum oleh Imelda.
NB: Saya mendapat buku ini dari mantan murid saya Kuchiki Keiko, yang bercita-cita membuat perpustakaan bahasa Indonesia di Tokyo. Dia banyak menulis puisi dalam bahasa Indonesia, dan sempat belajar bahasa Jawa di UGM, setelah selesai menamatkan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) UI. Juga pernah membantu mendirikan perpustakaan di salah satu desa di Sumba. Sayang sekali saya sudah lama tidak berjumpa yaitu sejak saya mulai hamil Kai. Terakhir saya mendapat kartu tahun baru yang menuliskan bahwa dia juga sering membaca blog ini. Kuchiki san, apa kabar?
kok penduduk desanya ga kpikiran bwat mindahin desanya aja ya?
mungkin kalo pindah desa malah ga memakan waktu yang lama..
tp nanti judul ceritanya bakalan berubah jadi, “Desa Berpindah”..
Mindahin desa ngga gampang loh. Biasanya daerah subur sudah ada penduduknya sendiri kan. Kecuali mereka menyebar lalu hidup di desa-desa sekeliling. Tapi kalau udah cinta mati sma adesanya sendiri, biar gimana pun tidak mau pindah kan? Well dalam kenyataan memang lebih baik begitu mungkin, Tapi yang ingin diajarkan di sini adalah “You Can if You Think You Can ” and “Nothing impossible” whish is also my motto. Semangat ini yang sudah jarang ada di masyarakat Indonesia. Dont you think so?
EM
Di daerah kami juga ada desa didalam lembah, nama desanya Torong. Matahari meninari desa pk 10, pagi dan lenyap dibalik tebing pk 3 sore. Makanya kalau ada anak sekolah terlambat masuk, maka guru akan bertanya : Apakah kamu berasal dari desa Torong ?
Sorry ya ama kawan-kawan dari Desa Torong….
sonyssk´s last blog post..Pawang Ternalem (Bagian ke Delapan)
gak usah mindahin desa’nya…
tapi mindahin orang2 desa itu alias Transmigrasi aja 🙂
Dari dahulu, ada beberapa cerita yang digambar oleh pelukis yang sama dengan cerita desa setengah hari itu.
Di dalam buku pelajaran bahasa SD juga ada.
Tapi saya nggak senang membacanya karena gambarnya menakutkan!
Kalau judulnya diterjumahkan ke bahasa Indonesia menjadi Desa Setengah Hari, kok enak didengar kalau dilafalkan dan enak dibaca kalau ditulis.
waduh begitu udah selesai baca saya juga ikutan menggigil,tante 😛 soalnya di bekasi lagi mendung gelap banget ehhh ac lupa belum dimatikan 😛
wah nambah pengetahuan nich 😛
Retie´s last blog post..Aku Pasti Kembali 2
Cerita yang menarik, bagaimana penduduk desa bergotong royong untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Karena desa tadi menjadi disinari matahari, dan diatas danau yang telah diurug (ditimbun), bisa digunakan sebagai sawah…jika hanya setengah hari pasti tak mungkin menjadi sawah.
Dan itu dimulai dari seorang anak kecil
edratna´s last blog post..Kehidupan masa kecil di Desa, dan Lumbung Desa yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat petani di pedesaan
ya bu, justru itu. dimulai dari seorang anak. Jadi jangan pandang enteng juga ide anak-anak.
EM
Ah ini cerita simple sekali …
tetapi dalam sekali maknanya …
cerita tentang … “Ketekunan”
Thanks EM
nh18´s last blog post..TRAINER’S EYES
“Aku mau membenamkan gunung itu dalam danau!”
Kalimat itu dahsyat! Banget!
Nothing is impossible. Yeah.
Daniel Mahendra´s last blog post..Bukan Tiket Sekali Jalan
Uwah…bener2 jadi motivator buat hari ini…kalau ada usaha memang “nothing is impossible” Sugoi!
wita´s last blog post..Punishment
Booster of the day!
Thanks Mbak
Yoga´s last blog post..Blog Oh Blog
Nothing is impossible!
booster juga buat adikmu ini, Sis!
😀
Lala´s last blog post..Unnecessary Madness
Saya merasa berbahagia karena kami bertemu lagi di twilaight express ini. Baru-baru ini, saya mulai buka homepage saya. Silahkan datang griyah kula uji.
http://www5.ocn.ne.jp/~griyah
dan Goenoeng bilang : “aku tak mau terbenam di dalam danau!”
thanks Mbak Imel, aku dapat bahan buat cerita ke anak2ku. 🙂