Waktu yang tepat

12 Sep

Kapan ya waktu yang tepat untuk memberikan anak-anak bermain play-station, komputer atau video game? Saya lihat banyak anak-anak sudah diberikan mainan itu sejak dini. Dan di Jepang pun dengan mewabahnya Wii, Nintendo DS, Xbox, banyak sekali temannya Riku (5 tahun)  yang sudah mempunyai DS sendiri. Waktu Riku minta, saya selalu berkata,”Nanti kalau kamu sudah umur 10 tahun!” Saya takut kalau dia kecanduan game. Tapi?

Setelah saya mengetahui bahwa DS juga mempunyai Soft untuk belajar hiragana, saya dan gen akhirnya memutuskan untuk membelikan Riku DS itu dengan harapan dia bisa belajar membaca dan menulis hiragana sebelum masuk SD. Dan kami membuat perjanjian, bahwa sehari main game “Naruto” dan sehari “Anpanman Hiragana” bergantian. Hari-hari pertama memang dia getol sekali main. Tapi setelah lewat seminggu tanpa dilarang untuk mainpun dia cuma main sejam…. Dasar bosenan (kayak mamanya hihihi)

Dan untuk mengimbangi Riku, saya beli soft untuk belajar Kanji. Mau ikut Test kemampuan Kanji (entah kapan)… bisa lulus level berapa ya…. meskipun harus bersaing dengan orang Jepang??? Level 5 aja mungkin udah bagus ya? Kalo Gen level 1? hehehe. Tapi ternyata waktu latihan cukup mandeg karena saya bisa baca tapi tidak bisa nulis. Karena terlalu banyak pakai komputer untuk menulis. HIKS… harus latihan lagi!!!

Gambarimasu!!!

Solitaire = Sendiri = Kesepian?

12 Sep

Judulnya seperti tag aja yah… Tapi memang hari ini tema yang saya dengar atau jalanin memang itu sih. Dimulai pagi hari, saya mendapat telepon dari teman dosen yang baru pulang dari Bali (yang saya pinjamkan proteksi Skimming untuk Kartu Kredit itu) . Dia cerita bahwa dia senang sekali pergi ke Bali dan karena dipinjamkan proteksi itu dia merasa aman dan sangat enjoy. Lalu saya bilang, “Untunglah Anda enjoy, padahal Anda kan pergi sendiri….”

“Iya semua orang yang saya jumpai bilang apa enaknya wisata sendiri dan apakah tidak takut?… tapi saya enjoy bisa santai sendiri, di pool sendiri, jalan-jalan ditemani penerjemah saja….”

“Wah kalau begitu saya harus coba juga ya wisata sendirian nih bu. ”

“Ya…nanti kalau kamu pulang ke Jakarta, tinggalkan saja 3 boys di Jakarta, lalu pergi ke Bali sendirian. Pasti enjoy deh!”

“Hmmm iya deh, nanti saya rencanakan begitu”

Kemudian saya pergi menyelesaikan urusan-urusan di luar, karena ibu mertua sudah datang untuk menjagai Kai. Beliau bilang, “Mumpung saya ada di sini, bisa jaga Kai, kamu enjoy saja di luar. Makan siang yang enak” Tadinya saya mau ajak dia makan di luar tapi dia bilang, dia sedang jaga dietnya karena minggu depan akan ke dokter. So saya pergi ke kantor pos dsb,  kemudian berjalan ke shopping mall. Huh saya paling sebal sebetulnya ke shopping mall, malas untuk buang waktu…tapi saya paksakan saja. Keliling-keliling lihat barang-barang bagus, dan sama sekali tidak tertarik beli. Setelah belanja keperluan dapur, saya putuskan untuk makan yang light saja. Maunya sih makan spaghetti, tapi tahu pasti tidak akan bisa habis satu piring. Sayang dibuang.

Jadi saya pergi ke resto Sushi. Karena jam 2 sepi, dan begitu saya duduk di counter, tiba-tiba ada seorang ibu berkata,

“Saya belum selesai makan kok sudah diangkat!!! Saya baru ke WC saja kok, belum mau pulang”

“Maaf … kami akan sediakan lagi yang baru… Sekali lagi Maaf.”

Pelayan restoran mengucapkan maaf berkali-kali sambil membawakan sup, minuman, dan sushi (mengantar setiap item +kata maaf)

Hmmm saya berpikir di situ… si ibu ini memang makan sendiri, dan mungkin tengah makan dia mau ke WC, dan dia bawa semua barang (tasnya) bersama dia…. Pelayan yang melihat tidak ada orang, dan tidak ada barang, menganggap tamu sudah pulang, lalu diangkat. Susah juga ya pergi makan sendiri jika harus seperti itu. Saya sendiri waktu pertama kali datang ke Jepang, mengalami masalah yang sama. Yaitu harus makan sendiri di restoran. Karena, mau membeli makanan jadi pun saya tidak tahu harus makan di mana. Di kantor? saya tidak berkantor. Baru kemudian saya tahu bahwa orang-orang makan di taman! Jadi selama 2 tahun lebih saya selalu makan di restoran sendiri, atau tunggu saja sampai pulang ke rumah makan malam di rumah. Jika saya dalam kedudukan ibu tadi, saya pasti akan meninggalkan tas saya di situ (bawa dompetnya saja), atau buku atau plastik atau apa saja. Atau saya tahan tidak ke WC sampai saya selesai makan dan mau pulang. Atau sebetulnya ibu itupun, bisa berbicara pada pelayan, jangan di angkat dulu, saya mau ke WC.

Intinya… susah ya makan sendiri!!! Biarpun makanan enak tersaji di depan muka, rasanya aneh sekali makan sendiri. Mau sambil baca tidak sopan (meskipun kadang akhirnya saya begitu), mau sambil telepon apa lagi ( di Jepang biasanya HP tidak boleh dipakai karena mengganggu tamu lain). Terpaksa deh sambil melamun makan dengan pikiran menerawang ke mana-mana. Kebiasaan saya di Indonesia, kalau makan pasti tidak sendiri. Pasti akan mengajak orang untuk makan bersama. Pernah kejadian, rombongan pelajar Indonesia naik kereta di Tokyo. Karena kebiasaan orang Indonesia untuk menawarkan makanan, maka ketika ada yang mau memberikan permen ke temannya, dia juga menawarkan pada orang yang duduk di samping kiri-kanannya. Tentu saja ditolak, bahkan diperhatikan orang segerbong. (“Jangan tawari!” dalam hati saya berkata). Setelah saya jelaskan, mereka tetap tidak mengerti kenapa tidak boleh menawarkan permen itu kepada orang lain. Hmmm susah menjelaskannya, karena banyak alasan yang bisa dipakai dilihat dari kebudayaan Jepang.

Akhirnya si ibu tadi pulang dan waktu membayar, masih saya dengar permintaan maaf dari pelayan toko. Saya juga pulang, dan mengakhir jalan-jalan sendiri saya siang itu. Sambil mengayuh sepeda, saya berpikir… Saya tidak enjoy “cuci mata” di shopping mall tadi. Saya tidak enjoy makan sendirian tadi. Saya juga semestinya tidak bisa enjoy wisata sendirian ya? Misalnya saya pergi ke Bali, menikmati keindahan laut, berbaring di pantai menatap langit, awan yang menggumpal di atas…. sendiri, hening, indah… mungkin saat itu saya bisa relaks. Tapi begitu hari berganti malam…. yang didengar hanya deburan ombak, pekatnya malam, dan …. sepi. Kok saya jadinya takut? Takut pada kegelapan (dan memang ini termasuk phobia saya). Hmmmm

Tapi saya juga tahu, bahwa manusia dilahirkan sendiri ke dunia ini. Dan pasti akan kembali sendiri. Takut? pasti! … tapi mungkin saya memang harus pergi sendiri untuk meyakinkan dan menemukan jawaban, apakah saya takut sendiri? Apakah saya takut kesepian? Kalau tidak dicoba, bagaimana saya bisa tahu? Tentu saja saya pergi sendiri itu bukan dalam konotasi “dinas/bekerja” ya , tapi dalam rangka “berlibur”. Saya juga pernah disarankan teman untuk retreat sendiri. Memang sudah lama sekali saya tidak retreat. Terakhir waktu SMA…. tapi… itu juga tidak sendiri kok. Bersama teman-teman SMA. Hmmm mikir lagi deh. Kenapa juga timbul pikiran ini ya? mungkin karena musim gugur = musim sedih. Daun-daun yang hijau berubah merah, dan rontok jatuh ke tanah. Ibaratnya mati. Semakin mendekati akhir tahun, semakin dingin… menusuk tulang, perasaan “lonely” itu akan tiba (makanya menjelang akhir tahun banyak kasus bunuh diri di Jepang).Saya rasa semua yang tinggal di negara 4 musim pernah merasakannya.

Arggghhhh, saya ingin terbang mengejar matahari sampai sayapku tak bisa dikepakkan lagi.

NB: Maaf kok jadi berat ya isinya hehehe. Lupakan saja!!!